Search

Jun 18, 2011

You Are My Reason to be Happy

The short story below is the 2nd part of short story entitled Just 5 Minutes 
Buat yang belum baca cerita pertamanya, baca dulu yah..
Happy Reading :D



Dear: Tuhanku Tercinta

Tuhan…
Apa Kau mendengarku?
Tuhan…
Apa Kau menyayangiku?
Tuhan..
Apa aku boleh meminta sesuatu?

Aku ingin Kau mendengarkan dan mengabulkan permintaanku..
Aku ingin bersama dengan Rama lebih lama lagi..
Aku mencintai Rama dengan segenap hatiku..
Aku takut jika Kau merebutku dari Rama..
Aku takut Rama sedih..

Bilapun nanti tiba saatnya aku kembali padaMu..
Ijinkanlah aku menikmati saat-saat terakhirku disisi Rama..
Ketika nanti Kau hendak menjemputku..
Ijinkanlah Rama yang mendampingiku pada detik-detik itu..

Hanya itu Tuhan..
Semoga permintaanku ini tak menyulitkanMu..
Semoga Kau membaca surat ini..
Walaupun surat ini mungkin akan sulit kau temukan
Diantara tumpukan surat-surat yang lain..

With love: Jingga, anakMu yang penuh dengan senyuman.

Itu adalah satu-satunya surat yang aku temukan di dalam tas Jingga, aku menemukannya diantara buku-buku pelajarannya, aku menemukannya disaat-saat terakhir aku menemaninya di Rumah Sakit.
Aku membaca surat ini berulang-ulang kali, entah sampai kapan aku akan berhenti untuk membacanya. Setiap kali aku membaca surat ini, hatiku perih, rasa kehilangan itu semakin mengulitiku.
Setiap baris kata yang dituliskan Jingga di atas kertas itu, membuatku kembali pada kenangan ketika aku masih bersamanya, ketika dia masih memberikan senyuman manis itu untukku.

Terkadang aku memaki diriku sendiri.
Kenapa aku tak bisa menjadi pacar yang baik untuk Jingga?
Kenapa aku tak tahu apapun tentang penyakitnya?
Kenapa aku percaya, bahwa anemia yang jadi penyebabnya sering pingsan.
Kenapa aku tak pernah menanyakan obat apa yang sering diminum oleh Jingga?
Dan kenapa? Kenapa Tuhan mengambilnya secepat itu?

Namun, Jingga selalu tersenyum, tertawa, berlari, menari, melompat, dan melakukan apapun yang ia mau. Jingga sangat sehat, hingga kini aku masih tak percaya bahwa Jingga telah mengidap penyakit terkutuk itu bertahun-tahun.
Jingga tak pernah mengeluh, Jingga selalu bisa mengatasi penyakitnya.
Jingga itu kuat! Ia mampu menyembunyikan penyakitnya dariku selama berbulan-bulan.
Jingga itu tangguh! Ia selalu tersenyum dan tertawa dibalik penyakit yang bisa merenggut nyawanya kapan saja.
Jingga itu malaikatku, yang membuatku merasakan bagaimana indahnya mencintai seseorang.
Jingga itu segalanya untukku, walau aku tak pernah mengungkapkan ini padanya.
Enam bulan, bukan waktu yang cukup untukku bersama Jingga, bahkan setahun, puluhan tahun, hingga ratusan tahun, tak akan pernah cukup untukku bersama Jingga.
Aku tak ingin seharipun tanpanya, aku ingin dia disisiku, selalu.

Aku teringat ketika itu, ia sedang menemaniku latihan basket, ia sangat bersemangat meneriakiku dan memberiku dukungan. Padahal ini hanya latihan dan bukan kompetisi. Teman-temanku sangat menyukai Jingga, aku rasa bukan hanya mereka, tapi semua orang pasti menyukai Jingga. Lalu aku menghampirinya dan kulihat ia tersenyum menyambutku, namun wajahnya terlihat begitu pucat dan itu membuatku khawatir.
“Jingga, kau tidak apa-apa? Wajahmu pucat sekali” aku memegangi pipinya, namun ia hanya tersenyum dan memegang tanganku lalu menurunkannya.
“Aku tidak apa-apa Rama, hanya saja aku lapar, aku belum makan, kau itu jahat sekali! mengajakku kemari namun tidak mengajakku makan terlebih dahulu” Jingga berkacak pinggang dan berpura-pura marah.
“Maafkan aku, ayo kita cari makan, kau mau makan dimana?” aku berusaha lebih lembut, namun tetap saja wajahku dingin dan datar.
“Kau terlihat seperti tidak sedang mengajak pacarmu makan siang, kau itu kaku sekali!”
“Sudahlah, ayo kita pergi sebelum aku membatalkan acara makan siang ini” aku berkata sambil menyampirkan tasku di pundak, dan bergegas mendahului Jingga.
“Hei!! Kau itu jahat sekali, kau meninggalkannku, pacar macam apa kau? Tunggu Ramaaaaa” Jingga sedikit berlari untuk menyamai langkahku, aku hanya tersenyum dan berpura-pura tidak mendengarnya.
Dan tiba-tiba saja Jingga melompat ke punggungku, aku benar-benar terkejut, karena tubuhnya yang mungil, dengan mudahnya ia melompat dan akupun terpaksa harus menggendongnya.
“Kau itu mengangetkanku, berhentilah bersikap seperti anak kecil, kau bukan anak SD lagi” kataku tanpa menoleh ke arahnya.
“Hei!! Aku hanya ingin kau gendong! Kalau caranya tidak seperti ini, kau tidak akan pernah mau menggendongku!”
“Kalau kau terus mengoceh, akan kuturunkan kau sekarang juga!” aku berpura-pura marah dan berusaha menyembunyikan senyumku, dalam hati saat ini aku sedang tertawa atas kelakuan Jingga.
“Kau itu jahat!, kau tidak pernah bersikap manis padaku, aku lelah Rama, aku tak mau berjalan dengan kakiku sendiri!”
“Kau harusnya bersyukur, kau masih memiliki kaki, apa kau tahu masih banyak orang-orang di luar sana yang begitu ingin berjalan dengan kaki mereka sendiri, namun mereka hanya mampu menumpukan tubuh dan kaki mereka di atas kursi roda.” Aku mencoba memberi pengertian pada Jingga dengan sabar.
“Baiklah! Kalau aku harus berjalan, turunkan aku sekarang, tapi kau harus menggandeng tanganku sampai ke rumah makan itu!”
“Kau ini!!! Baiklah.”
Aku menurunkan Jingga dari punggungku, dan menggenggam tangannya, seperti yang ia minta.
Mungkin menurut Jingga, aku benci melakukan hal kekanakan seperti ini, namun jujur saja, aku menikmatinya, aku menyukai apapun yang dilakukan Jingga padaku.
Andai saja aku tau tentang penyakitnya, aku tak akan membiarkannya berjalan kaki dalam kondisi seperti itu.
Andai saja aku tau dia sedang menahan sakitnya, aku akan menggendongnya setiap hari, aku tak akan pernah membiarkannya berjalan, aku akan menjadi kakinya.

Aku masih teringat ketika makan bersama Jingga siang itu, bukan hanya siang itu bahkan setiap makan bersamanya, ia selalu membawa obat itu dan meminumnya setelah makan atau pada saat-saat tertentu yang membuatku bertanya.
“itu obat apa? Kau sering sekali meminumnya”
“ini obat ajaib! Bisa membuatku kuat, dan pintar” Jingga membelalakkan matanya yang besar seolah sedang mengiklankan sebuah produk. Aku hanya tertawa mendengar leluconnya.
“Hei!! Jangan tertawa! Kau harus tau, kalo tidak ada obat ini, aku tidak akan bisa secantik ini, aku tidak akan bisa punya keberanian untuk membuatmu menjadi pacarku, aku tidak akan bisa terus tertawa seperti sekarang ini” lagi-lagi perkataan Jingga terdengar seperti lelucon bagiku.
“Jadi itu semacam jimat? kau memakai jimat itu untuk mendapatkan semuanya?” kataku sambil memasukkan beberapa biji nasi ke dalam mulutku.
“Iya!! Obat ini jimat! kau tahu satu hal?” Jingga mendekatkan wajahnya padaku lalu berbisik perlahan. “Aku ini sesungguhnya adalah seorang nenek berusia 60 tahun yang sedang menyamar di balik jimat ini.”
“sudahlah, aku tidak tertarik, kau itu terlalu kekanakan, habiskan makananmu, aku antar kau pulang.” Aku berkata seraya menahan senyumku dan berusaha terlihat tenang.
“Kau tidak percaya? Hahaha.. tunggu saja nanti saat bulan purnama aku akan berubah jadi nenek-nenek yang mengerikan dan kau akan berlari ketakutan hihihi.” Jingga memamerkan gigi-giginya yang rapi dan membentuk tangannya seolah ingin mencakarku, lalu aku menghentikannya dan mengajaknya segera meninggalkan tempat ini.

Andai saja aku tau itu obat yang memperlambat pertumbuhan sel-sel kankernya.
Andai saja aku tau, dia begitu tersiksa ketika harus menggantungkan hidupnya pada butiran-butiran obat itu.
Aku akan menemaninya bercanda, tertawa mendengar leluconnya, dan menikmati cerita-cerita kekanakannya.

Semuanya itu hanyalah kenangan dua tahun yang lalu.
Aku tak akan pernah mampu untuk mengembalikannya.
Jujur saja, ketika aku membaca surat Jingga untuk Tuhan, seolah barisan kata itu membawaku kembali pada luka itu.
Kata-kata itu mengupas habis pertahananku, menenggelamkanku dalam kesedihan.
Cahaya senja yang selalu aku pandangi apabila aku menghabiskan soreku di taman itu, tak akan pernah cukup untuk untuk mengobati kerinduanku pada Jingga.
Aku sangat marah! Kenapa Jingga tak pernah memberitahuku tentang penyakitnya?
Aku mungkin bukan orang yang bisa menyembuhkannya atau mengubah kenyataan, namun aku ingin jadi pacar yang terbaik untuk Jingga, yang selalu ada untuk melindunginya.
Aku sempat mengatakan ini pada pengasuh Jingga, dan ia mengatakan beberapa hal yang sempat dikatakan Jingga, ketika ia masih hidup.

“Kenapa Jingga tak pernah bercerita tentang penyakitnya padaku, dan kenapa tak ada satupun yang memberitahuku?” aku bertanya dengan sengit seraya menyeka air mataku yang sudah tak dapat kubendung lagi dengan kasar.
“Karena Non Jingga yang memintanya, ia tak mau anda tau tentang penyakitnya, karena ia ingin anda mencintainya apa adanya.” Jawab wanita paruh baya itu dan pandangannya menerawang jauh, seolah sedang mengenang sesuatu. Lalu ia melanjutkan kalimatnya.
“Non Jingga pernah mengatakan, ia ingin anda mencintainya sebagai gadis yang sehat, normal, tanpa penyakit. Ia tidak mau anda mencintai dan melindunginya karena menyadari dia sakit, lemah, dan butuh perlindungan. Ia hanya ingin terlihat kuat di depan anda, karena Non Jingga pernah bilang, anda adalah sumber semangatnya, anda yang menyebabkan ia ingin diberi kesempatan untuk hidup lebih lama lagi. Maaf, hanya itu yang bisa saya katakan, permisi.” Wanita paruh baya itu berlari pelan, dan bisa kudengar isakan tertahan dari suaranya.
Aku terhenyak, menjatuhkan tubuh jangkungku di atas kursi dan mataku menatap ke langit-langit di ruangan itu guna menahan air mataku yang hendak keluar dari kelopaknya, namun yang terjadi justru semakin mengalir deras tanpa bisa kukendalikan. Pandangan mataku yang tajam dan selalu percaya diri, kini memudar, redup dan gelap tanpa Jingga disisiku lagi.

Kini aku tau..
Inilah yang diinginkan Jingga.
Dia lebih tenang ketika melepaskan semua penyakitnya dan kembali dalam pelukan Tuhan.
Aku tak bisa menahannya untuk terus disisiku.
Bergantung pada obat-obatan membuatnya semakin tersiksa, dan kini aku percaya Jingga jauh lebih bahagia dari yang aku bayangkan.
Dia telah menemukan kehidupan barunya disana.
Dua tahun tak cukup bagiku untuk menghilangkan perasaanku terhadap Jingga.
Aku akan terus mencintai Jingga.

Jingga, jika kau ingin aku bahagia.
Buatlah aku bisa menerima dan merelakan kepergianmu.
Ijinkan aku jatuh cinta lagi, agar aku bisa melanjutkan hidupku.
Jika nanti aku menemukan orang lain untuk ku cintai dan juga mencintaiku.
Percayalah..
Kau tak akan pernah terganti.
Karena kau memiliki tempat yang khusus di hatiku.
Untukku, kau selalu hidup dan selalu istimewa di hatiku.
Terima kasih Jingga, untuk kisah cinta yang singkat namun begitu luar biasa.
YOU ARE MY CHEERFUL LITTLE GIRL!!
YOU ARE MY REASON TO BE HAPPY!!


Story by: Risty 
Backsong: Secondhand Serenade – Is there anybody out there

3 comments:

Erinda Moniaga said...

kalimatmu tumben resmi Ris...
gak kek cerita sebelumnya, hehe.

Anonymous said...
This comment has been removed by a blog administrator.
Anonymous said...

Salut aku