Search

Nov 8, 2011

We Are The In Crowd - Rumor Mill


Rumor Mill (official music video) 



Rumor Mill (Lyrics)

Here we go again, 
It's like you're calling all the shots before I shoot them
And I hate that.
Every time I turn my back I wonder what you'll
Say to make me sound like someone different

It's not worth it anymore! 

We've been picking up the pieces
Leaving all the dust behind.
Sick of all the pressure
You're just wasting time
And I don't ever wanna know what it feels like
To be a shadow of myself
And I don't ever wanna come back down from this feeling
What makes you think that you know what's better for me
And I don't think you wanna see what's underneath
Your made up version of me

There you go again believing
That the truth is what you're reading
Talk some shit I haven't heard before.
If you've got something to say
Don't wanna talk about it
If you need someone to blame
Don't wanna cry about it
I measure life in minutes but these critics think they've got me figured out

We've been picking up the pieces
Leaving all the dust behind.
Sick of all the pressure
You're just wasting time
And I don't ever wanna know what it feels like
To be a shadow of myself
And I don't ever wanna come back down from this feeling
What makes you think that you know what's better for me
And I don't think you wanna see what's underneath
Your made up version of me

I lost the strength to keep my grip on the reality that
Everything from day to day is
Fading from my memory but I'll
Never let this grow
Out of my control and watch your steps so
You don't fall into this hole you've dug alone

This hole you've dug alone

And I don't ever wanna know what it feels like
To be a shadow of myself
And I don't ever wanna come back down from this feeling
What makes you think that you know what's better for me
And I don't think you wanna see what's underneath
Your made up version of me

Your made up version of me

Nov 7, 2011

Yellow Card - Hang You Up



Kalian pasti udah pada tau lagunya Yellow Card yang Hang You Up kan?
dan ini dia versi nya mereka akustikan bareng Cassade Pope, vokalisnya Hey Monday!


In this below is the one song from the album When You’re Thinking, Say Yes was released back in acoustic version. Hang You Up song is sung with vocalist from Hey Monday (Cassade Pope).
Listen to the tape directly below!



Hang You Up (Official Music Video)


Yellow Card - hang You Up (Lyrics)

I can not hold this anymore
My hands are tired of only waiting to let go
And I am waiting...still

I used to know which way to turn
You were a light inside a tunnel in my head
I try to follow...still
I try to follow...still

It's hard to see you, we are older now
And when I find you, you just turn around
This is a black and white of you i've found
I hang you up and then I pull you down
I hang you up and then I pull you down

No more apologies from me
My arms are tired of picking up what I put down
You're all I think of...still

I'm gonna miss you everyday
I turn my back on anyone who won't believe
And it gets lonely...still
It gets lonely...still

It's hard to see you, we are older now
And when I find you, you just turn around
This is a black and white of you i've found
I hang you up and then I pull you down
I hang you up and then I pull you down

I get lost sometimes
Another year flies by
But I know if I try
Memories of the light in your eyes
Can take me back in time

It's hard to see you, we are older now
And when I find you, you just turn around
This is a black and white of you I found
I hang you up and then I pull you down
It's hard to see you we are older now (we are older now)
And when I find you, you just turn around (you turn around)
This is a black and white of you I found (you I found)
I hang you up and then I pull you down
(pull you down)
I hang you up and then I pull you down
(pull you down)
I hang you up and then I pull you down
(pull you down)

I don't hear music anymore
My ears are tired of all the pictures in the words
Cause you are in them...still

Nov 6, 2011

I Wanna Dance With You Forever


#11Projects11Days #Day7 #DanceWithMyFather Nulis Buku @Nulisbuku


Sebelas tahun telah berlalu ketika kenangan itu pergi bersama gelak tawa dan semua kelakarnya.
Ketika kepolosan itu tak lagi ada padaku, ketika aku masih suka bermanja dan bersembunyi di balik punggunggmu.
Dan ketika kau bisa menghabiskan setiap sisa waktumu untuk menari bersamaku dan Mama.
Karena sesungguhnya aku rindu padamu..
Papa..

Hari ini adalah ulang tahunmu Papa, ini adalah kali ke sepuluh aku merayakannya dengan Mama, tanpa kehadiranmu disini Papa.
Aku rindu, sangat merindukanmu Papa.
Begitu juga Mama yang selalu membuatku tegar untuk merelakan kepergianmu, walaupun tak jarang aku menemukan Mama menangis di balik ruang gelap di rumah ini.
Maafkan aku Papa, seharusnya aku yang bisa menghibur Mama, namun aku tak cukup kuat, aku terlalu menginginkanmu disini Papa.
Aku ingin melihatmu lagi meniup lilin ulang tahunmu bersamaku dan Mama.

“Bianca sayang, ayo kita berdoa sebelum kita meniup lilinnya untuk Papa.” Mama memelukkku lembut dan membuyarkan lamunanku.
“Iya Ma, Bianca kangen Papa, Ma..” aku balas memeluk Mama dan menatapnya.
“Mama juga, Papa juga pasti kangen sama kita dan Papa pasti ga suka ngeliat kita sedih.”
“Ma, sekarang Bianca udah besar, kenapa Bianca masih suka cengeng? Kenapa Bianca ga bisa tegar kayak Mama?” suaraku bergetar, berusaha menahan air mataku.
“Papa udah tenang sekarang, jadi sekarang kita hanya perlu mendoakan Papa, agar sehat selalu disana.” Mama membelai rambutku dengan lembut dan kita menuju ruang tengah bersama.

Ketika aku dan Mama mulai memejamkan mata, berdoa untuk Papa, seketika bayangan itu berkelebat di kepalaku, membawaku pada peristiwa sebelas tahun lalu.

***

I still carry on and..
I still walk around and..
I still feel the warming glow..

Alunan lagu I Still Carry On milik Michael Learns To Rock membawaku dalam pelukan Papa, kami selalu menari bersama dengan diiringi lagu ini. Papa menarik tanganku, memutar tubuhku, membuatku terlihat seperti seorang putri. Bahkan aku pernah memecahkan vas bunga kesayangan Mama karena aku begitu antusias dan bersemangat, lalu Mama pun memarahiku dan aku selalu bersembunyi di balik punggung Papa.
Papa berbalik, menarik tanganku dan membawaku kehadapan Mama, mengajarkanku cara meminta maaf ketika aku telah melakukan kesalahan.
Papa tak pernah salah di mataku, Papa selalu membuatku berani untuk mengakui kesalahanku dan meminta maaf atas kesalahan yang aku lakukan.

“Kenapa vas bunga Mama dipecahin? Sini kamu Biancaaaa…” Mama menegurku, aku ketakutan dan memeluk pinggang Papa, karena pada saat itu umurku masih 8 tahun, tinggiku masih setengah dari tinggi badan Papa.
“Kenapa kamu sembunyi sayang? Ayo minta maaf sama Mama.” Bujuk Papa dengan lembut.
“Bianca ga berani Pa, takut dimarah Mama.”
“Ga akan dimarah kalo kamu berani minta maaf dan menyesali kesalahanmu, let’s try to apologize, dear.” Papa meyakinkanku dan membuatku menuruti perintahnya.

“Ma, Bianca minta maaf, lain kali Bianca ga akan bikin Mama marah lagi.” Aku menunduk dan menarik ujung kemeja Mama, merengek minta maaf dengan segala kepolosanku.
“Kamu tau ga? Kamu udah melakukan kesalahan, dan kamu udah berani minta maaf jadi Mama maafin, tapi jangan diulangi lagi, karena ini adalah sebuah kesalahan, mengerti?” Mama berbicara tegas padaku dan aku hanya mengangguk lalu berlari ke pelukan Papa.
Aku sangat ketakutan pada waktu itu, aku merasa sangat bersalah pada Mama, namun Papa selalu menghiburku dengan menceritakan sedikit lelucon yang selalu membuatku berhasil tertawa dan merasa nyaman. Papa bisa melakukan apapun, sampai pada suatu saat akupun bertanya.

“Pa, Bianca suka menari sama Papa! Bianca suka lagu ini!” Aku terus menari dengan semangat dan medongak ke arah Papa, sementara musik terus mengalun.
“Papa juga suka sayang! Ayo kita terus menari!.” Papa menarikku dengan keras dan membuat kakiku tak menyentuh lantai, Papa mendekapku dalam pelukannya. Aku sangat bahagia saat itu.
“Pa, sampai kapan kita akan berhenti menari?”
“Sampai musik ini berhenti! Ayo kita menari lagi!” Papa begitu bersemangat.
“Bianca ga mau, Bianca mau terus menari sama Papa, biarpun musiknya udah berhenti.” Rengekku.
“Untuk hari ini, sampai disini dulu, Papa mau berangkat ke kantor,kamu juga harus ke sekolah kan? nanti kalo Papa udah pulang kita akan menari lagi, setuju?” Papa tersenyum dan meyakinkanku, membelai rambut hitamku, dan mengecup keningku yang terhalangi oleh poni.

Hari sudah malam, tapi Papa belum juga pulang dan aku bertanya pada Mama.
“Ma, Papa kok belum pulang? Kita kan udah janji mau menari bersama.” Tanyaku.
Mama sedang merapikan pakaian yang baru saja selesai disetrikanya, lalu Ia memegang bahuku pada kedua sisinya dan berkata.
“Mama telepon Papa dulu ya, mungkin Papa lagi ada rapat.”
Sebelum Mama menelepon, telepon rumahku pun berdering terlebih dahulu, aku tak mengerti apa yang dibicarakan Mama dengan orang di telepon itu, namun aku melihat air mata Mama menetes, iya! Mama menangis! Aku berlari ke arah Mama, memeluknya karena aku ketakutan melihat Mama menangis, Ia balas memelukku dan menangis hingga bajuku basah, namun aku sedikitpun tak mengerti apa yang membuat Mama menangis.

Mama tak berkata apa-apa padaku, Mama hanya pergi meninggalkanku, bergegas mengendarai mobilnya, sementara aku di rumah hanya bersama mbak Ratna, pembantuku. Mbak Ratna juga memelukku dan menangis, aku bertanya padanya kenapa semua orang menangis, namun Ia hanya mengatakan padaku jika Ia yang akan menemaniku tidur malam ini.

Pagi pun datang, dan aku menemukan rumahku begitu sepi hanya ada aku dan mbak Ratna, Papa belum juga pulang, aku lelah menunggu, pikirku saat itu Papa telah mengingkari janjinya untuk menari denganku.
Lalu Mama datang, dengan matanya yang sembab dan ia berpakaian serba hitam.

“Bianca, ayo mandi, kita harus pergi.” Kata Mama lembut.
“Pergi kemana Ma, Bianca mau berangkat sekolah sama Papa.” Kataku, lalu Mama berjongkok menyamai tinggi badanku, dan memelukku.
“Kita mau nganterin Papa, tadi Mama sudah bilang ijin sama guru kamu di sekolah.” Bisa kudengar ada getar pada suara Mama.
“Memang Papa mau pergi kemana Ma?”
“Papa mau pergi ke tempat yang sangat indah, namanya surga.” Aku lihat ada senyum di bibir Mama.
“Surga? Bianca mau ikut Papa! Bianca mau menari sama Papa disana!” pekikku histeris.
“Ga bisa sayang, kamu tetap tinggal disini sama Mama.”
“Ga mau Ma! Bianca mau ikut Papa!” aku berteriak dan Mamapun menangis, aku merasa sangat bersalah dan memeluk Mama.
“Kamu ga bisa ikut Papa sayang, kamu harus tetap disini sama Mama, Mama ga akan kuat kalo ga ada kamu, Mama bertahan untuk kamu sayang.” Mama menangis dan memelukku semakin kencang, akupun ikut menangis bersama Mama, walaupun aku tidak mengerti tentang apa yang dikatakan Mama pada saat itu. Aku hanya tak bisa melihat Mama menangis dan sedih karena tak bisa ikut bersama Papa ke Surga.

Dan semakin aku tumbuh besar, akupun semakin mengerti kepergian Papa. Papa kecelakaan dalam perjalanan pulang, Papa meninggal di tempat kejadian karena kehabisan darah, dan mulai saat itupun aku sadar, aku tak akan bisa lagi menari bersama Papa dan tak bisa lagi bersembunyi di balik punggunggnya.

***
Aku membuka mataku dan meniup lilin ulang tahun bersama Mama, walaupun Papa tak ada disini tapi aku merasakan kehadirannya.

Seandainya saja lagu I Still Carry On tidak berhenti, aku pasti masih menari dengan Papa.
Seandainya ada lagu lain yang bisa kuputarkan untuk menari dengan Papa, aku akan memilih lagu yang tak akan pernah berhenti, lagu yang tak akan pernah berakhir, sehingga aku terus bisa menari dengan Papa.

Ini sudah sebelas tahun Pa, umurku sudah 19 tahun sekarang, tapi aku masih gadis kecilmu.
Aku sekarang sudah duduk di bangku kuliah, aku berharap kau bangga padaku.
Apa kau bisa melihatku? Apa kau tahu betapa aku merindukanmu?
Apa kau bisa melihat betapa aku mencintaimu?
Aku tau, kau selalu denganku ketika aku jatuh.
Aku mencoba untuk tidak bersedih, namun aku tak bisa.
Aku berharap kau tau, kau adalah pahlawanku!
Aku sangat mencintaimu Pa, aku ingin menari lagi denganmu.

Aku berkata dalam hati sebelum aku merebahkan tubuhku dia atas tempat tidur.

Aku melihat Papa duduk di sisi tempat tidurku, tersenyum dan membelai rambutku. Aku bangkit dan balas memeluk Papa, namun Papa hanya balas memelukku tanpa berbicara sedikitpun, aku mengatakan aku sangat merindukannya, namun Papa tetap diam, lalu melepaskan pelukanku.
Seketika semuanya menjadi gelap dan aku kehilangan jejak Papa, aku berteriak menangis memanggil Papa.

“Kamu kenapa sayang?” Mama memeluk dan menenangkanku.
“Bianca tadi liat Papa, Ma..” aku memeluk Mama dan air matakupun jatuh, namun Mama hanya diam dan memelukku semakin erat, memintaku untuk kembali tidur.

Saat itu aku sadar, bahwa aku hanya bermimpi..
Aku hanya begitu merindukan Papa..


Story by: Risty
Based on song : Luther Vandross - Dance with my father
This story was made on project: #11Projects11Days @Nulisbuku #Day7 "Dance with my father"

Nov 4, 2011

Hot Caramel Macchiato


#11Projects11Days #Day5 #Menari Nulis Buku @Nulisbuku



Apa yang membuat siang ini begitu panas? Ah! aku benci siang hari, kenapa tidak hujan saja? Setidaknya ketika hujan, aku memiliki alasan untuk mampir dan berteduh di kedai kopi itu. Meminum hot caramel macchiato di hari seterik ini tidak akan pernah menyenangkan, padahal itu minuman favoritku.

“Hot caramel macchiato satu, oya seperti biasa jangan lupa tambahan cinnamon-nya ya” aku memesan sambil lalu, berusaha menyayupkan suaraku.
“Segera diantarkan!” jawab pelayan itu dengan mantap.
Dan akupun berlalu, menuju tempat duduk yang menyudut di kedai kopi itu, memperhatikan dia yang sibuk meracik kopi pesanan pelanggan. Kuperhatikan garis wajahnya, rambut ikalnya yang selalu menutupi alis tebal itu, hidungnya yang mancung, tulang pipinya yang terlihat keras di permukaan, dan tentu saja aku sangat menyukai bibir kecilnya yang walaupun sangat jarang menarik garis senyuman.

“Silahkan menikmati…” Ia meletakkan secangkir hot caramel macchiato di mejaku, sementara aku berusaha menutup wajahku dengan novel tebal yang bertuliskan Oliver Twist di atas covernya.
“Maaf, sepertinya aku mengenalmu” ia mulai menelisik ke arahku, seakan mengupas habis novel yang saat ini menutupi wajahku, karena aku sudah tidak kuat hingga tawaku pun pecah.
“Pffffhhhh…hahahaha…. Iya ini gue! Lo mau ngomelin gue lagi?” aku memainkan bola mataku, tanpa menoleh langsung ke arahnya.
“Ren, bukannya gue udah bilang? Kalo lo mau macchiato, gue bisa bawain ke rumah, kalo nyokap lo tau gimana? Kenapa lo bandel banget sih? Lo ga boleh kepanasan ataupun kehujanan.”
Aku tak mempedulikan Tama sedikitpun, aku hanya terus menyeruput macchiato-ku sambil menenggelamkan wajah di balik novelku.
“Yaudahlah terserah lo aja, kalo lo ga tahan karena kepanasan, awas aja lo sampe order minuman dingin, gue hajar lo!” katanya sambil lalu, kata hajar yang baru saja ia katakana sepenuhnya hanya gertakan, aku tau itu.

Aku adalah seorang gadis berusia 19 tahun yang dianugerahkan tinggi badan dan tubuh yang berukuran kecil, mata bulat, hidung dan bibir yang juga kecil namun aku sangat menyukai semuanya yang ada di tubuhku, terutama rambut sebahuku yang selalu terurai bebas. ini adalah tahun pertamaku menduduki bangku kuliah, Tama adalah sahabatku sejak SMA, ia bekerja paruh waktu di kedai kopi ini untuk membiayai kuliahnya dan kebetulan kami berkuliah di universitas yang berbeda sehingga kami jadi jarang bertemu, dan aku suka sekali mengunjunginya kemari, walaupun ia sangat suka mengomeliku. Aku memiliki alergi terhadap hujan, panas, dan minuman dingin. Aku tidak tau pasti penyakitku ini termasuk penyakit apa, tapi dokterku pernah mengatakan bahwa aku memiliki masalah pada system neurovascular, kelainan pada saraf pembuluh darah yang menyebabkan daya tahan tubuhku begitu lemah sehingga aku jadi sering pingsan.

“Mau sampai berapa lama lagi lo disini? Mau nunggu sampai gue pulang?” sapa Tama dengan nada skeptis.
“Jutek banget lo, tunggu maleman dikit deh, sekalian lo anterin gue pulang, gimana?” tawarku dengan wajah sedikit merengek.
“Gue baru bisa pulang jam 8, masih dua jam lagi, yang bener aja lo.” jawab Tama singkat, serambi membersihkan meja di sebelahku.
“Ya, gue tunggu deh, Tam… pleaseeee…” aku mencakupkan kedua tanganku dengan wajah memohonku yang pasti akan membuat Tama menyerah.
“Kenapa lo bandel banget sih?” sekarang ia duduk tepat dihadapanku, memandangku lurus sampai ke manik mataku, entahlah… tiba-tiba saja aku merasa begitu gugup, aku tak pernah merasa setegang ini sebelumnya, ketika aku di dekat Tama. Lalu aku mengalihkan pandanganku pada macchiato ku yang sudah mendingin.
“Kenapa lo mandangin gue kayak gitu?” tanyaku dengan wajah tertunduk.
“Lo, selalu pakai alasan hujan, buat berteduh disini, dan sekarang lagi ga hujan sama sekali, lo mau pake alasan apa?” Tama masih tak melepaskan pandangannya ke arahku.
“Gue haus, jadi pengen macchiato, emang ga boleh?”
“Hh.. hot caramel macchiato di hari yang panas terik? Apa lo ga tambah haus?”
“Lo kalo ga suka gue kesini bilang aja, gue pergi sekarang! dan satu lagi, lo tau ga? Gue juga pengen banget yang namanya minum yang dingin, pengen es krim, pengen keluar sebebasnya di siang hari, gue pengen hujan-hujanan, karena gue selalu suka hujan, cuma bisa ngeliatin hujan di balik jendela kamar itu rasanya menyedihkan tau ga lo? Terus sekarang lo protes gara-gara gue sering main kesini, gara-gara gue nyamperin lo? Dan satu lagi….” ada jeda sebentar disana “gue juga mau keluar sama lo setiap hari, tanpa harus kawatir gue akan kelelahan dan pingsan. Dan kalo lo ga suka, gue pergi sekarang, gue pulang sendiri!”

Aku berlari keluar dari kedai kopi itu, namun Tama masih mematung di tempatnya tanpa berkata apapun, bahkan mengejarku pun tidak. Ah sial! Kenapa aku harus lari keluar, aku baru ingat aku tidak punya uang lagi untuk membayar ongkos taksi.
Hujan pun turun rintik-rintik, namun aku tak berani melangkahkan kakiku, aku takut jika aku tiba-tiba merasa pusing dan pingsan. Hari sudah gelap, dan hujan belum juga berhenti. Untuk orang-orang normal, mungkin hujan ini tak seberapa, tapi untukku hujan ini sedikit menakutkan. Dan aku memutuskan untuk berjongkok di sudut taman depan kedai kopi itu karena aku kelelahan untuk tetap berdiri.

“Ternyata lo masih disini?” teguran Tama mengejutkanku
“Gue nunggu hujan reda” jawabku sekenanya, tanpa menoleh ke arahnya.
“Yuk, ikut gue pulang, gue anterin, tapi jalan kaki sampai ke halte ya, gue lagi ga bawa motor.”
“Jalan ke halte? Gue bisa kehujanan.”
Aku tersentak, karena tiba-tiba saja dia menarik tanganku, mengajakku berlari menerobos hujan, dan baru kali ini aku melihatnya tertawa lepas, sambil terus menggenggam jari-jari tanganku.
“Tam, lo udah gila ya? Gue bisa pingsan!” teriakku.
“Tapi sekarang lo ga apa-apa kan? Lo tadi sempet bilang, lo pengen main hujan kan? Ini cuma gerimis, ga akan berbahaya” lalu ia memegang pipiku pada masing-masing sisinya dan berkata
“When you believe everything is okay, then everything will be fine.”
Akupun mengangguk dan tertawa, lalu aku menarik tangan Tama dan melepaskannya lagi, aku begitu menikmati rintik-rintik hujan ini dan menari sesuka hatiku, kurentangkan tanganku, kuayunkan persis menirukan pesawat kertas yang limbung ketika kehabisan udara. Dan aku berteriak kencang “Gue suka hujaaaaaan!” lalu aku memeluk tubuh jangkung Tama, dan tertawa lepas.
“Tapi, gue suka lo Rena.” Tama berbisik kecil di telingaku, dan aku sedikit tersentak.
“Lo tadi bilang apa? Gue ga denger jelas.”
“Lo suka macchiato kan?” sahut Tama, yang jauh melenceng dari topik pembicaraan.
“Bukan itu, lo tadi ngomong yang lain.” Sahutku dengan nada penasaran.
 “Lo tau bedanya lo sama macchiato?” Lagi-lagi aku tak mengerti yang dikatan Tama, lalu ia melanjutkan, dan memandang lurus ke mataku.
“Bedanya lo sama hot caramel macchiato adalah, gue akan tetap suka sama lo walaupun lo menjadi dingin dan pahit.” Lanjutnya.
“Pffffhhh….. hahaha.. tampang lo ga cocok ngomong kayak gitu Tam!” aku tertawa dan melepaskan pelukanku.
“Okay, lupain aja.. pulang yuk.” Jawabnya ketus.
“Eeeeh tunggu, ga bisa gitu dong, lo harus tanggung jawab!” teriakku.
“Tanggung jawab apa?”
“Tanggung jawab, karena gue juga suka sama lo Tam.” Lalu aku memeluknya, dan ia tersenyum, balas memelukku dan mendaratkan kecupan lembut di keningku.

Terima Kasih Tama, karena telah mengenalkanku pada hujan, walau hanya rintik-rintik kecilnya.






Story by : Risty
Based on song: Maliq & d'essentials - Menari
This story was made on project: #11Projects11Days @Nulisbuku #Day5 "Menari"