Search

Nov 4, 2011

Hot Caramel Macchiato


#11Projects11Days #Day5 #Menari Nulis Buku @Nulisbuku



Apa yang membuat siang ini begitu panas? Ah! aku benci siang hari, kenapa tidak hujan saja? Setidaknya ketika hujan, aku memiliki alasan untuk mampir dan berteduh di kedai kopi itu. Meminum hot caramel macchiato di hari seterik ini tidak akan pernah menyenangkan, padahal itu minuman favoritku.

“Hot caramel macchiato satu, oya seperti biasa jangan lupa tambahan cinnamon-nya ya” aku memesan sambil lalu, berusaha menyayupkan suaraku.
“Segera diantarkan!” jawab pelayan itu dengan mantap.
Dan akupun berlalu, menuju tempat duduk yang menyudut di kedai kopi itu, memperhatikan dia yang sibuk meracik kopi pesanan pelanggan. Kuperhatikan garis wajahnya, rambut ikalnya yang selalu menutupi alis tebal itu, hidungnya yang mancung, tulang pipinya yang terlihat keras di permukaan, dan tentu saja aku sangat menyukai bibir kecilnya yang walaupun sangat jarang menarik garis senyuman.

“Silahkan menikmati…” Ia meletakkan secangkir hot caramel macchiato di mejaku, sementara aku berusaha menutup wajahku dengan novel tebal yang bertuliskan Oliver Twist di atas covernya.
“Maaf, sepertinya aku mengenalmu” ia mulai menelisik ke arahku, seakan mengupas habis novel yang saat ini menutupi wajahku, karena aku sudah tidak kuat hingga tawaku pun pecah.
“Pffffhhhh…hahahaha…. Iya ini gue! Lo mau ngomelin gue lagi?” aku memainkan bola mataku, tanpa menoleh langsung ke arahnya.
“Ren, bukannya gue udah bilang? Kalo lo mau macchiato, gue bisa bawain ke rumah, kalo nyokap lo tau gimana? Kenapa lo bandel banget sih? Lo ga boleh kepanasan ataupun kehujanan.”
Aku tak mempedulikan Tama sedikitpun, aku hanya terus menyeruput macchiato-ku sambil menenggelamkan wajah di balik novelku.
“Yaudahlah terserah lo aja, kalo lo ga tahan karena kepanasan, awas aja lo sampe order minuman dingin, gue hajar lo!” katanya sambil lalu, kata hajar yang baru saja ia katakana sepenuhnya hanya gertakan, aku tau itu.

Aku adalah seorang gadis berusia 19 tahun yang dianugerahkan tinggi badan dan tubuh yang berukuran kecil, mata bulat, hidung dan bibir yang juga kecil namun aku sangat menyukai semuanya yang ada di tubuhku, terutama rambut sebahuku yang selalu terurai bebas. ini adalah tahun pertamaku menduduki bangku kuliah, Tama adalah sahabatku sejak SMA, ia bekerja paruh waktu di kedai kopi ini untuk membiayai kuliahnya dan kebetulan kami berkuliah di universitas yang berbeda sehingga kami jadi jarang bertemu, dan aku suka sekali mengunjunginya kemari, walaupun ia sangat suka mengomeliku. Aku memiliki alergi terhadap hujan, panas, dan minuman dingin. Aku tidak tau pasti penyakitku ini termasuk penyakit apa, tapi dokterku pernah mengatakan bahwa aku memiliki masalah pada system neurovascular, kelainan pada saraf pembuluh darah yang menyebabkan daya tahan tubuhku begitu lemah sehingga aku jadi sering pingsan.

“Mau sampai berapa lama lagi lo disini? Mau nunggu sampai gue pulang?” sapa Tama dengan nada skeptis.
“Jutek banget lo, tunggu maleman dikit deh, sekalian lo anterin gue pulang, gimana?” tawarku dengan wajah sedikit merengek.
“Gue baru bisa pulang jam 8, masih dua jam lagi, yang bener aja lo.” jawab Tama singkat, serambi membersihkan meja di sebelahku.
“Ya, gue tunggu deh, Tam… pleaseeee…” aku mencakupkan kedua tanganku dengan wajah memohonku yang pasti akan membuat Tama menyerah.
“Kenapa lo bandel banget sih?” sekarang ia duduk tepat dihadapanku, memandangku lurus sampai ke manik mataku, entahlah… tiba-tiba saja aku merasa begitu gugup, aku tak pernah merasa setegang ini sebelumnya, ketika aku di dekat Tama. Lalu aku mengalihkan pandanganku pada macchiato ku yang sudah mendingin.
“Kenapa lo mandangin gue kayak gitu?” tanyaku dengan wajah tertunduk.
“Lo, selalu pakai alasan hujan, buat berteduh disini, dan sekarang lagi ga hujan sama sekali, lo mau pake alasan apa?” Tama masih tak melepaskan pandangannya ke arahku.
“Gue haus, jadi pengen macchiato, emang ga boleh?”
“Hh.. hot caramel macchiato di hari yang panas terik? Apa lo ga tambah haus?”
“Lo kalo ga suka gue kesini bilang aja, gue pergi sekarang! dan satu lagi, lo tau ga? Gue juga pengen banget yang namanya minum yang dingin, pengen es krim, pengen keluar sebebasnya di siang hari, gue pengen hujan-hujanan, karena gue selalu suka hujan, cuma bisa ngeliatin hujan di balik jendela kamar itu rasanya menyedihkan tau ga lo? Terus sekarang lo protes gara-gara gue sering main kesini, gara-gara gue nyamperin lo? Dan satu lagi….” ada jeda sebentar disana “gue juga mau keluar sama lo setiap hari, tanpa harus kawatir gue akan kelelahan dan pingsan. Dan kalo lo ga suka, gue pergi sekarang, gue pulang sendiri!”

Aku berlari keluar dari kedai kopi itu, namun Tama masih mematung di tempatnya tanpa berkata apapun, bahkan mengejarku pun tidak. Ah sial! Kenapa aku harus lari keluar, aku baru ingat aku tidak punya uang lagi untuk membayar ongkos taksi.
Hujan pun turun rintik-rintik, namun aku tak berani melangkahkan kakiku, aku takut jika aku tiba-tiba merasa pusing dan pingsan. Hari sudah gelap, dan hujan belum juga berhenti. Untuk orang-orang normal, mungkin hujan ini tak seberapa, tapi untukku hujan ini sedikit menakutkan. Dan aku memutuskan untuk berjongkok di sudut taman depan kedai kopi itu karena aku kelelahan untuk tetap berdiri.

“Ternyata lo masih disini?” teguran Tama mengejutkanku
“Gue nunggu hujan reda” jawabku sekenanya, tanpa menoleh ke arahnya.
“Yuk, ikut gue pulang, gue anterin, tapi jalan kaki sampai ke halte ya, gue lagi ga bawa motor.”
“Jalan ke halte? Gue bisa kehujanan.”
Aku tersentak, karena tiba-tiba saja dia menarik tanganku, mengajakku berlari menerobos hujan, dan baru kali ini aku melihatnya tertawa lepas, sambil terus menggenggam jari-jari tanganku.
“Tam, lo udah gila ya? Gue bisa pingsan!” teriakku.
“Tapi sekarang lo ga apa-apa kan? Lo tadi sempet bilang, lo pengen main hujan kan? Ini cuma gerimis, ga akan berbahaya” lalu ia memegang pipiku pada masing-masing sisinya dan berkata
“When you believe everything is okay, then everything will be fine.”
Akupun mengangguk dan tertawa, lalu aku menarik tangan Tama dan melepaskannya lagi, aku begitu menikmati rintik-rintik hujan ini dan menari sesuka hatiku, kurentangkan tanganku, kuayunkan persis menirukan pesawat kertas yang limbung ketika kehabisan udara. Dan aku berteriak kencang “Gue suka hujaaaaaan!” lalu aku memeluk tubuh jangkung Tama, dan tertawa lepas.
“Tapi, gue suka lo Rena.” Tama berbisik kecil di telingaku, dan aku sedikit tersentak.
“Lo tadi bilang apa? Gue ga denger jelas.”
“Lo suka macchiato kan?” sahut Tama, yang jauh melenceng dari topik pembicaraan.
“Bukan itu, lo tadi ngomong yang lain.” Sahutku dengan nada penasaran.
 “Lo tau bedanya lo sama macchiato?” Lagi-lagi aku tak mengerti yang dikatan Tama, lalu ia melanjutkan, dan memandang lurus ke mataku.
“Bedanya lo sama hot caramel macchiato adalah, gue akan tetap suka sama lo walaupun lo menjadi dingin dan pahit.” Lanjutnya.
“Pffffhhh….. hahaha.. tampang lo ga cocok ngomong kayak gitu Tam!” aku tertawa dan melepaskan pelukanku.
“Okay, lupain aja.. pulang yuk.” Jawabnya ketus.
“Eeeeh tunggu, ga bisa gitu dong, lo harus tanggung jawab!” teriakku.
“Tanggung jawab apa?”
“Tanggung jawab, karena gue juga suka sama lo Tam.” Lalu aku memeluknya, dan ia tersenyum, balas memelukku dan mendaratkan kecupan lembut di keningku.

Terima Kasih Tama, karena telah mengenalkanku pada hujan, walau hanya rintik-rintik kecilnya.






Story by : Risty
Based on song: Maliq & d'essentials - Menari
This story was made on project: #11Projects11Days @Nulisbuku #Day5 "Menari"

No comments: