Search

Jun 13, 2011

School Backyard

School backyard is not a favorite place for anyone..
Here, I begin my story..
Here, I met him..
Everything, i wrote in my notes!







Halaman belakang sekolah adalah tempat favoritku untuk menyendiri, merenung, atau hanya sekedar mengasingkan diri dari teman-teman sekelasku.
Aku selalu ditemani sebuah pena dan notes kecilku.
Aku tidak sedang menulis diary di halaman belakang sekolah, itu kedengaran sangat ironis sekali sepertinya.
Aku hanya suka mencatat hal-hal yang menurutku penting di hari itu.
Ya apapun itu, akan kugoreskan penaku di atas notes bersampul hitam pekat bercorak keemasan milikku itu.
Itu bukan termasuk menulis diary kan?

Dan siang itu aku melihat seorang siswa yg sedang duduk membelakangiku, sehingga aku hanya melihat punggungnya saja.
Ini kali pertama aku melihat ada orang lain selain aku yang menghabiskan jam istirahatnya di halaman belakang sekolah.
Samar-samar kuperhatikan dia dari balik punggungnya, namun aku tetap tak mengenalinya karena bahkan punggungnya pun terhalangi ilalang yang tumbuh liar disana.
Lalu aku berjingkat mendekatinya, namun ia sudah tidak ada di tempat itu.
Aku tersentak karena ada suara berdehem di belakangku, dan lebih terkesiap karena suara itu berasal dari siswa laki-laki yang aku perhatikan sedari tadi.

“Lo ngapain disini? Ngintipin gue?” seketika wajahku merona karena tertangkap basah telah memperhatikannya, tubuh menjulang itu membuatku mendongak.
“Astaga kenapa ada orang setinggi ini? Aku saja sudah terbilang tinggi” kataku dalam hati.
“Nnnggggg….ga kok, gue emang biasa disini kali, lo tuh yang ngapain?” aku sedikit terbata dan sengaja balik bertanya padanya untuk menyembunyikan rasa maluku.
“Bukan urusan lo” dia menyeringai dan berlalu.
“Eh tunggu!!” aku sedikit berlari untuk menyamai langkahnya, dan dia hanya menengok ke belakang tanpa suara.
“Kok gue ga pernah liat lo? Lo siswa di sekolah ini juga kan?” tanyaku seraya memperhatikan wajahnya, Ia memiki hidung yang mancung dan mata yang besar dengan pandangan tajam setiap menatapku, seperti kilat yang hendak menyambar.
“Menurut lo?” jawabnya singkat
“Lo anak kelas berapa?” kudengar diriku bertanya lagi.
“XII IPA2” lagi-lagi jawabnya singkat.
“Gue XI IPA1, nama gue Ibeth, nama lo?” aku bertanya lagi dan lagi, akupun tak mengerti kenapa aku bertanya begitu banyak tentangnya.
Lalu akhirnya dia berbalik dan menatapku, tangannya membentuk sebuah genggaman untuk menghalagi mulutnya yang sedang menguap. Dia berbalik hanya untuk menguap, kemudian berlalu meninggalkanku yang masih membatu memperhatikan punggungnya seperti anak berusia 6 tahun yang ditinggal pergi orang tuanya.

Angin di halaman itu berdesir kencang sehingga menerbangkan poni yang tadinya menutupi keningku, sementara rambut panjangku kuikat bentuk ekor kuda. Kusesap minuman yang aku bawa dari kantin, wajahku menimbang-nimbang.
Dia tak mengatakan siapa namanya, aku memutuskan untuk mencatat di notes ku, kejadian hari ini dan tidak lupa kucantumkan, dia adalah anak kelas XII IPA2.
Aku mulai berpikir lagi, apakah ini penting?
Okay! Kuputuskan ini penting, ah tidak! Hanya lumayan penting.

Aku kembali ke kelas dan coba menanyakan informasi tentang anak itu, mungkin saja ada beberapa temanku yang mengenalnya. Hampir semua teman sekelasku memberi informasi yang sama, kira – kira seperti inilah yang kudengar.

“Iiiiih dia itu kan phsyco! Jauh-jauh deh lo dari dia!”
“Jangan coba buat kenal dia deh, dia kan hobinya berkelahi”
“Itu si Aldo! Anak kelas 12 yang jadi langganan masuk ruang BP , dia kan siswa bermasalah!”

Ya kira - kira seperti itulah, bahkan sebagian dari mereka ada yang sampai bergidik ketika menceritakan tentang Aldo.
Ya namanya Aldo. Jujur saja, aku pun sedikit ngeri mengingat beberapa menit yang lalu aku sudah berkomunikasi dengan orang paling bermasalah di sekolah.
Tapi itu tidak membuatku mundur, aku akan coba untuk mencari tahu tentang dia lebih banyak lagi.
Dia bukan termasuk laki-laki yang suka berbuat kasar dengan perempuan kan?
Yah semoga saja tidak, karena besok aku akan coba menemuinya lagi di halaman belakang sekolah.

Sebulan telah berlalu, aku tak menduga akan seakrab ini dengan Aldo sekalipun aku akui dia masih tetap dingin dan sikapnya yang acuh tak peduli terkadang membuatku kesal. Tak ada satupun temanku yang mengetahuinya, karena aku tak mau mereka menyangka aku yang tidak-tidak, mengingat statusku yang sudah punya pacar.
Yah walaupun kuakui hubunganku dengan Ryan tidak begitu baik akhir-akhir ini.
Ya nama pacarku Ryan.
Aku terkadang sesekali menceritakan tentang Ryan ke Aldo, yang dia lakukan hanya manggut-manggut, entah dia mengerti atau sekedar mendengarkan.
Keakrabanku dengan Aldo dimulai karena seringnya kita bertemu di halaman belakang sekolah, dan karena keagresifanku yang selalu menanyakan berbagai hal tentangnya. Ternyata kalau diperhatikan, dia itu manis sekali, tidak seperti sosok lelaki yang suka berkelahi atau pembuat masalah seperti yang divoniskan teman-temanku.

Aku menyukai ketika ia tersenyum, ada dua gigi yg berukuran lebih besar diantara giginya yang lain di bagian depan, aku menyebutnya gigi kelinci, dia begitu lucu ketika ia tersenyum, matanya yang tajam, kulit sawo matang dan hidungnya yang mancung terlebih lagi tingginya yang lumayan melebihi tinggiku.
Bukankah ia begitu manis dan menarik?

Ia tidak seseram seperti yang dikatakan orang-orang di sekolahku.
Aku sempat bertanya beberapa hal tentang itu, namun dia hanya mengangkat bahu tanpa repot-repot mau menjelaskan padaku, terkadang jawabannya nyeleneh.
“anggap saja berkelahi itu olahraga ringan” begitu kudengar dia berkata.
Aku hanya mengerjap tidak percaya, enak saja dia bicara seperti itu, dia pikir itu sebuah lelucon?

Dan suatu hari dia bertanya padaku.
”Lo pergi pergi gini sama gue, cowok lo ga marah?” tanyanya sambil meneguk minuman kalengnya.
“Oh santai aja, Ryan sih ga batasin pergaulan gue haha” jawabku sekenanya.
Aldo bangkit berdiri dari tempat duduknya, berkata sambil lalu.
“Itu cowok lo emang pengertian atau ga peduli sih? Untung aja lo bukan cewek gue, kalo iya bisa gue hajar habis deh cowok manapun yang lagi deket sama lo”
Seketika mataku terbelalak dan aku terpaku, kata-kata Aldo telak menancap pekat di hatiku, kurasakan pipiku mulai panas dan aku sendiripun tak tau apa yang aku rasakan sekarang ini.
“Ga usah dipikirin, tadi gue cuma asal ngomong kok, mungkin cowok lo emang pengertian.” jelas Aldo seraya mengangkat bahunya dan berlalu.

Aku masih terduduk di atas rerumputan halaman belakang sekolah, wajahku dinaungi rimbunnya dedaunan dari ranting-ranting pohon yang menjulang.
Mencoba merebahkan tubuh kurusku di atas rerumputan, kubiarkan matahari menyengat kulitku, dan desiran angin mulai meremangkan buluku.

Entah kenapa kata-kata Aldo sesaat lalu masih bergema di benakku, bagaikan hantaman kecil yang telak memasungku, aku terhenyak dalam dua kondisi sekaligus.
Pertama karena kata-katanya membuatku sedikit melambung dengan mengatakan
“jika aku ini pacarnya”.
Dan kedua, aku merasa jatuh berantakan ketika ia mengatakan
”entah Ryan itu pengertian atau tidak peduli denganku”.
Aku mulai merasakan pandanganku kabur, terhalang oleh air mataku yang menggenang.
Lalu aku bangkit berdiri dan meninggalkan tempat itu seraya menyapukan punggung tanganku di kedua mataku yang sedikit basah.

Pagi itu aku diantar Ryan ke sekolah, betapa senangnya aku karena jarang sekali kesempatan ini datang padaku, kebetulan sekolahku dan sekolah Ryan bersebelahan. Waktu itu kita berjalan kaki di sepanjang halte menuju sekolah.
Ryan hanya sedikit lebih tinggi dariku, tubuhnya yang tidak terlalu kurus dan wajah tampannya dengan tatapan mata teduh yang selalu mebuatku nyaman.

“Sayang, aku pengen jujur sama kamu, janji dulu jangan marah”  Ryan menggenggam tanganku,
“Apa? Aku ga marah kok” jawabku sambil tersenyum.
“Bener ya, ga boleh marah” lanjutnya sambil menatapku lekat.
“Iya bilang aja, ga apa2 kok, penasaran nih ah” sahutku penasaran.
“Sebenernya gini, uhmm.. aduh gimana ya, aku jadi ga enak gini ya ngomongnya?” kata Ryan terbata.
“Ngomong aja, susah banget sih, aku tinggal nih kalo ga mau ngomong sekarang!” aku semakin tidak sabar.
“Hmm..aku ngerasa lebih baik kita temenan aja deh” dia berbicara tanpa menatap mataku.
“Maksud kamu? Putus? Tapi kenapa?” aku tersentak dan tak percaya.
“Aku..mmmhh..ya..gini..”
“Udah deh jangan bertele-tele! Jujur aja masalahnya apa? kamu bosen sama aku? Atau kamu punya cewek lagi? Ga apa-apa jujur aja!” suaraku meninggi tanpa kusadari.
“Iya, aku punya cewek, dan jujur aja aku lebih comfort sama dia, maaf” Ryan hanya menunduk dan genggaman tangannya seketika melonggar.
“Jadi begitu?” jawabku lemah “okay, ga apa-apa” lanjutku.
“Maafin aku, aku ga mau nyakitin kamu lebih jauh lagi” Ryan melanjutkan dan lalu kemudian melepaskan tangannya dari tanganku.
“Aku ga apa-apa kok, udah sana masuk kelas ntar telat lho!” aku berusaha menyunggingkan senyumku, dan andai saja dia tau betapa pahitnya menahan air mataku saat ini.
“Ya udah aku pergi ya, makasi Ibeth! Kamu baik banget! Byeeee” dia berlalu, sementara aku hanya memandang punggungnya dan terus menyeka air mataku yang tak berhenti menetes.

Aku membenci diriku sendiri, kenapa aku tadi tidak menamparnya?
Kenapa aku tadi tidak berteriak dan menangis di depannya?
Kenapa aku memaksakan diriku terlihat baik-baik saja?
Aku..aku..aku tak tau apa yang sedang kulakukan sekarang.

Aku masih berdiri terpaku di depan gerbang sekolah, sampai akhirnya aku terkesiap karena ada yang menepuk pundakku dari belakang.
“Ngapain lo bengong disini?” sosok jangkung Aldo terlihat heran menatapku.
“Eh itu gue, ga kok.. trus emang kenapa?” kalimatku begitu kacau, entah apa yang kubicarakan tadi.
“Lo ngomong apa sih? itu mata lo kenapa?” dia merendahkan badannya dan menelisik ke arah mataku.
“Eh ini ga kok, cuma ini tadi..nggg” aku tergagap dan air mataku justru mengalir deras, tanpa bisa kuhentikan.
“Lo nangis?” Aldo sedikit terbelalak.
‘Gue kenapa sih? kok gue gini? Kok air mata gue ga mau berhenti? Aneh banget kan? Haha” aku terus menyeka air mataku dengan kasar, aku tak bisa mengendalikan diriku, aku hanya terus menangis.
Dan tanpa kusadari Aldo sudah berlari meninggalkanku, tanpa berpikir lagi aku lalu mengejarnya, tak tahu kenapa firasatku sedikit tidak enak,

Benar saja, aku sudah menemukan posisi Aldo sedang bertumbu di atas tubuh Ryan, dan wajah Ryan sudah bersimbah darah.
“Hentikan!!!!!” teriakku, namun aku bagaikan seekor serangga yang berteriak di antara dua  serigala yang sedang saling menerkam. Aldo terus melayangkan pukulannya ke wajah Ryan dan kudengar dia mendesis di telinga Ryan.
“Elo cowok pengecut!”
Lalu aku berlari menghampiri Ryan dan memeriksa wajahnya, namun Aldo hanya tertawa sinis dan berkata sambil lalu.
“Beth! Lo bego apa gimana sih? masih aja ngurusin cowok model begitu” lalu ia pergi begitu saja.
Aku terperangah oleh perkataan Aldo yang begitu defensif, samar-samar kulihat wajah Aldo pun juga penuh darah dan luka. Ternyata aku sudah ketinggalan beberapa menit, mereka sudah berbaku hantam selama aku belum menemukan keberadaan mereka.
Lalu aku memutuskan untuk meninggalkan Ryan dan pergi mengejar Aldo.

“Tunggu!!!” aku setengah berteriak, namun Aldo tak menghentikan langkahnya.
“Aldo tunggguuuu!” aku berlari dan terengah, hingga akhirnya aku bisa menarik tangannya, namun Aldo hanya diam dan sedikitpun tak menolehku.
“Gue sering liat ini di tv, begini merasa lebih baik?” aku menggandeng tangan Aldo dan mengayunkannya. Dia hanya tersenyum sedikit lalu kemudian memudar lagi.
Dia menarik tangannya dari genggamanku dan memasukkannya ke saku celananya, mempercepat langkahnya mendahuluiku.
Lalu aku mengejarnya, menarik tangannya dan menggengamnya erat, dia tak berusaha melepaskannya lagi, hanya saja dia tetap diam.
“Kenapa lo tadi mukulin Ryan?” tanyaku.
“Lagi pengen olahraga aja” jawab Aldo sekenanya.
“Lo ga kenal Ryan kan do?” tanyaku lagi.
“Tadinya ga, tapi sekarang iya” jawabnya singkat sambil meregangkan rahangnya.
“Maksud lo?” tanyaku heran.
“Udahlah, gue cuma marah! Tadi itu ga tau kenapa gue jadi marah banget!”
“Lo marah kenapa do? Gue ga ngerti?”
Aldo tertawa kecil lalu menjitak kepalaku, dan berkata “lo itu bego ya?”.
“Hah?” aku memainkan bola mataku dan berpikir, dan seketika aku tersentak karena aku sudah ada dalam dekapan Aldo.

“Gue udah ga tahan lagi Beth, lo harus jadi cewek gue sekarang karena gue ga mau lagi dengerin ocehan lo tentang cowok lain lagi” Aldo tedengar tidak bercanda, bisa kudengar degup jantungnya yang seketika berdetak kencang saat ia mengatakan itu padaku. Sementara aku hanya terdiam kehilangan suaraku.
“Gue cuma bilang ini sekali aja Beth, lo mau jadi cewek gue apa ga?” Aldo melonggarkan dekapannya dan menatapku lekat-lekat.
Aku hanya menatapnya dan tak berhasil menemukan suaraku, aku hanya terkesima karena aku tak menyangka ia memiliki perasaan seperti ini padaku.
Wajahku merona lalu kemudian aku hanya mengangguk lemah karena suaraku hilang entah kemana.
Aldo tersenyum dan menggandeng tanganku dan kami berjalan melewati gerbang sekolah tanpa peduli siapapun yang akan melihat kebersamaan kami.
Dan aku tau apa yang akan kulakukan setelah ini, tentu saja mencatat semua kejadian hari ini di dalam notes ku.




Story by    : Risty
Backsong    : Alterbridge - Watch Over You

3 comments:

Annisa said...

suka banget :) kenapa gak di upload ke nulisbuku aja ?

Erinda Moniaga said...

good Ris :D

loh gueh banget, wkwkwkkw

kembangin lagi, pasti ntar makin banyak cerita bagus kamu buat ;)

Risty Sabbry said...

Annisa: thx ya dear, maunya dikirim, tp cerpennya blm terkumpul banyak hhe..

Erin: thx u eyiiiin *kecup