Search

Aug 15, 2011

Short Kiss

The Short Story below is the second part
of short story entitled Not You

bagi yang belum baca, baca dulu yah cerita
pertamanya..



Semuanya tampak gelap, apapun yang dihadapanku saat ini tak bisa kulihat dengan jelas, namun aku tetap berjalan dan hanya mengikuti kemana langkah ini membawaku.
Pikiranku kosong, aku merasakan kakiku melemah dan langkahku mulai gontai, jika ada satu-satunya hal yang harus aku lakukan saat ini adalah memperbaiki hatiku, membalut lukanya dan menahan darahnya yang memberiku kesakitan pada setiap tetesnya. Tangan itu masih mengerat lenganku, merangkulku begitu hangat dan jujur saja itulah satu-satunya pertahananku saat ini, tangan Choky yang menyelamatkanku, dan tubuh jangkungnya yang melindungiku.

“Lo baik-baik aja?” Choky merangkulku lebih erat dan mengajakku duduk di dalam ruangan kelas yang tidak terpakai.
“Gue baik- baik aja, lo bisa lepasin tangan lo” jawabku datar, lalu aku melihat sekeliling dan mendongak kearahnya yang saat ini sedang berdiri di hadapanku. “Kenapa lo ngajak gue ke sini?”
“Ya mungkin aja lo bisa lebih tenang di sini, di sini ga ada siapa-siapa dan ga ada yang bisa liat lo.” Sahutnya.
“Gue baik-baik aja, okay! Dan sekarang gue mau pulang!” aku bangkit berdiri dan berjalan ke luar namun Choky menghalangi langkahku.
“Minggir!!”
“Gue anter lo pulang”  Choky menarik tanganku ke luar ruangan itu, dan aku berusaha melepaskan genggamannya.
“Lepasin!! Gue bukan bayi! Gue bisa pulang sendiri!”
“Lo sekarang pacar gue! Jadi gue yang harus nganterin lo pulang” jawab Choky menyeringai.
“Sejak kapan? Gue ga pernah jadi pacar lo ataupun sebaliknya, lo ga pernah jadi pacar gue! Kenapa lo seenaknya? Lo ga tau gimana suasana hati gue sekarang! Lo ga tau…….” Aku terdiam dan tak berhasil menyelesaikan kalimatku karena Choky sudah memasukkan sebuah lollipop ke dalam mulutku, entah kapan ia membuka bungkusnya, aku tak menyadari.
“Udah selesai ngomelnya? Ternyata lo cerewet juga ya? Lo pulang sama gue dengan cara baik-baik atau gue gendong lo sekarang, tinggal pilih.” Choky memandangiku dan memajukan wajah sok manisnya kearahku tanpa berkedip, dan apa yang bisa aku lakukan? Aku hanya bisa mengikuti kemauannya. Choky berjalan disisiku dan menggandeng tanganku, bisa kulihat wajahnya yang merah karena menahan tawa, apa menurutnya aku ini bahan lelucon?.

“Ayo naik, kenapa lo bengong?” Choky memandangku heran
“Se-pe-da???” aku sengaja mengejanya, agar terdengar jelas ketidaksetujuanku.
“Emang kenapa kalo gue anter lo pake sepeda? Gue kuat kok, lagian badan lo kan mungil, pasti ga kerasa apa-apa” Lagi-lagi wajah Choky seolah sedang menahan  tawa.
“Lo ngerjain gue ya? Menurut lo gue harus duduk dimana?”
Tanpa bisa kukendalikan, aku sudah duduk di depan Choky, tepat dibalik kemudi sepedanya, ia menarik tubuhku dengan begitu mudah dan kemudian dengan tenang Ia mengayuhnya.

“Lo emang suka seenaknya ya?” tanyaku sambil tetap menatap lurus ke depan, karena jika aku menoleh sedikit saja, besar kemungkinan wajahku akan bersentuhan dengan wajahnya dan aku tak ingin itu terjadi.
“Bukan seenaknya, tapi gue selalu melakukan apa yang ingin gue lakukan.” Jawabnya.
Aku tak berkata apa-apa lagi, karena sesungguhnya aku lelah, hatiku masih sakit pasca peristiwa di kantin, dimana aku benar-benar dipermalukan oleh Billy, cowok yang aku sukai dan Choky-lah yang menyelamatkanku dari peristiwa mengerikan itu. Namun aku masih bingung, apa aku harus berterima kasih pada Choky yang telah menyelamatkanku, atau justru marah karena Ia telah  mengatakan di depan semua orang bahwa aku ini pacarnya. Dan aku memilih untuk diam saja tanpa mengatakan apa-apa. Seraya kupandangi tangannya yang ada di kedua sisi tubuhku, kulitnya terlihat sedikit kecoklatan seperti terbakar matahari, mungkin karena kebiasaannya bersepeda, namun itu bukan urusanku, dan aku masih tetap diam.

“Kok lo diem aja? Grogi ya duduk berdekatan sama gue?” Choky berbicara tepat di telingaku.
“Ge-er banget lo?” itu saja, dan aku kembali diam karena aku hanya lelah.
“Terus? Kenapa lo diem? Lo kepikiran sama Billy? Haha.. masih juga dipikirin.”
“Ga! Gue ga mikirin dia!” sahutku dan lagi-lagi aku kembali diam.
“Hmm.. gue tau  lo lagi mikirin apa……” Choky tak menyelesaikannya, ada jeda yang cukup panjang di akhir kalimatnya.
“Apa?!” ya benar saja, aku terpancing untuk bertanya, lalu ia mendekatkan bibirnya di telingaku dan berbisik.
“Lo  lagi mikirin gimana rasanya pacaran sama gue.”
Aku terlonjak dengan gerakan reflek menoleh kearahnya dan betapa tersentaknya aku, wajahnya begitu dekat dengan wajahku, bisa dibilang tanpa  jarak bahkan satu inci pun, begitu dekat, karena bibir kami bersentuhan. Aku mendelik dan segera berpaling, bisa kulihat dari sudut mataku Ia tersenyum menyeringai.

“Rumah gue udah deket kok! Tinggal belok kiri aja.” Aku berkata singkat, lalu kembali diam.
“Okay!” jawab Choky singkat.
“Stop!, ini rumah gue.” Aku turun, tepat setelah  Choky berhenti di depan pagar rumahku.
“Jadi ini rumah lo?, okay besok gue jemput.” Dia berkata sambil manggut-manggut.
“Maksud lo? Ga usah! Lo ga usah jemput gue! Gue bisa pergi sendiri!” Aku berkata seperti sudah kehabisan kesabaran.
“Lo lupa? Lo pacar gue sekarang, dan lo ga lupa kan? Kalo tadi lo udah cium bibir gue, jadi lo harus tanggung jawab.”  Choky memandangku dengan mata nakalnya sambil memasang tampang sok serius dan seolah-olah kejadian tadi adalah kesalahanku. Pipiku memerah, tanpa kuketahui apa ini perasaan marah atau malu.
“Lo! Hobby banget ya bikin gue jengkel!”
“Haha.. jangan marah-marah gitu, gue bercanda kok, besok ketemu di sekolah ya.” Ia berbalik dan mengayuh sepedanya, angin berdesir menerbangkan rambut lurusnya yang ia biarkan tumbuh hingga melewati alis.
“Tunggu!, lo beneran cuma bercanda kan?” Teriakku, dan Ia hanya melambaikan tangannya tanpa menoleh.
“Thanks ya!” aku berteriak lebih kencang karena Ia semakin menjauh, namun ia memalingkan wajahnya kearahku dan berteriak kencang.
“Tapi ciuman itu, gue tetep minta tanggung jawab lo!!!!”
“Hei! Maksud lo apa! Hei! tunggu!” aku berteriak sekuat-kuatnya, namun ia tak menoleh sedikitpun, dan semakin mengayuh sepedanya hingga menghilang di kejauhan.

Aku hanya terus terdiam, berdiri tepat di depan pagar rumahku, tak berpikir sedikitpun untuk masuk ke dalam rumah. Aku masih menebak-nebak apa yang aku pikirkan saat ini. Kejadian di kantin yang memalukan itukah? Atau perjalananku bersepeda sepanjang menuju rumahku bersama Choky?. Aku meraba dada kiriku, kurasakan detak jantungku, kembali ku bertanya pada diri sendiri, stabilkah? Normalkah? Terlalu kencangkah? Yang kumaksud adalah detak jantungku. Hingga ada suara yang menyadarkanku dari lamunan itu.

“Lo Nara yang tadi di kantin?” itu suara Billy, kini Billy ada di hadapanku
“I..iya.., gue tadi..engg.. gue..” aku terbata, kurasakan tubuhku seolah membeku.
“Kenapa  lo bisa ada di sini? Jangan bilang lo ngikutin gue?” dia memandangku dingin.
“A..apa?? heh! Jangan sembarangan! Ga cukup tadi lo bikin gue malu? Ini rumah gueee! Gue berdiri di depan rumah gueee! Gue ga ngikutin lo sama sekali!” aku tak percaya aku bisa seberani itu, aku tak  percaya aku mampu berteriak seperti itu, karena aku nyaris menangis.
“Ummm.. sorry, gue ga tau kalo ini rumah lo, sorry” Billy tampak salah tingkah dan seperti merasa bersalah padaku.
“Ga apa-apa, permisi” aku hendak membuka pagar rumahku, namun Billy menarik tanganku.
“Soal di kantin tadi, gue minta maaf, gue kehilangan kontrol.”
“Ga apa-apa.” jawabku lagi.
“Oh ya, By the way gue sekarang tinggal disini, baru pindah kemarin, kita tetanggan dong?” Billy berkata dengan santainya.
“Apa? Kak Billy tinggal di sebelah rumah gue?” aku tercengang.
“Iya, ga usah kaget gitu, kita bisa jadi tetangga yang baik kan? Dan ngelupain kejadian tadi di kantin? “
“Oh tentu, umm gue masuk dulu ya.”  Jawabku sambil menunjuk rumahku dengan ibu jari dan keempat jariku yang terkepal.
“Tunggu, gue mau nanya, tapi  no offense ya.”
“Tanya apa kak?”
“Hmm.. lo beneran pacarnya Choky?”
“Oh, soal itu, hmmm…” aku terbata dan tak tahu bagaimana menjelaskan semua ini.
“Well, ga usah dijawab juga ga masalah.”
“Bukan gitu kak, jadi gini…”
“Ga apa-apa, lo kenapa jadi bingung gitu? Haha.. besok lo berangkat sekolah bareng gue aja ya, bosen juga gue sendirian.” Kata Billy.
“Ba..bareng gue? Be..berangkat sekolah bareng” aku tersentak tak percaya.
“Iya, anggep aja, sebagai permintaan maaf gue dan ajakan sebagai tetangga baru, gimana?”
“Hmm.. okay, besok , iyaa..” aku hanya manggut-manggut karena tak tau akan berkata apa lagi.
“Okay.. see you tomorrow.”

Billy meninggalkanku dan kembali masuk ke dalam rumahnya, sementara aku hanya terpaku masih tidak mengerti apa yang baru saja terjadi. Lalu aku tersentak oleh dering ponsel yang menandakan pesan masuk.

Gue berubah pikiran, besok gue jemput. Jam 6.30 lo harus udah siap, dan ga boleh nolak karena lo harus tanggung jawab soal ciuman itu.

-Choky-

Pesan dari Choky. Aku hanya bisa terheran-heran, mulutku terbuka lebar karena tak bisa berkata apa-apa lagi, pertanyaan-pertanyaan itu muncul lagi di kepalaku.
Darimana Choky tahu nomor ponselku?
Dan apa yang akan terjadi besok, jika Ia benar-benar menjemputku, sementara Billy juga sudah menawari untuk berangkat bersama ke sekolah?
Jantungku! Ya Tuhan, jantungku berdetak dua kali lebih cepat! Astagaa!




Story by : Risty
Backsong : We The Kings - Heaven Can Wait

3 comments:

Erinda Moniaga said...

nahyooo, nahyooo...
bingung dah si Nara mau pergi ama siapa ke sekolah, wkwkwk

lanjutin Ris!
buruan!
mo baca!!

Risty Sabbry said...

iyaaa kakak eyiin, cabal yah wkwkwk..
msh mau cari inspirasi nih.. :D

Erinda Moniaga said...

cepetan...

ini harus segera dilanjutkan!!!