Search

Oct 4, 2011

Let You Go

This story is the 3rd part of  the stories below

*note: please read first (part 1: Just 5 Minutes and part 2: You are My Reason to be Happy )


In every hello, there will be a good bye...
In every beginning, there will be an ending...
Because that's how the world works...



Why do I still cry for you…………..
Dying to get close to you………….
Why do I still fear to face………….
The ghost…………..of you…………..

“Michael Learns To Rock - Ghost of you, isn’t it?”
Aku tersentak karena tiba-tiba kudengar sebuah suara yang menebak lagu yang sedang kunyanyikan, kuletakkan gitarku dan mengedarkan pandangan namun tak terlihat tanda-tanda ada orang di dekatku. Lalu kuputuskan untuk mengabaikannya karena kurasa mungkin itu hanya perasaanku saja, kulanjutkan bernyanyi menikmati petikan gitarku.

I've been trying to release you…………..
to get my feet back on the ground……...
Still I need my hope to hold on to………

“Apa ada alasannya kenapa kau menyanyikan lagu itu?”
Lagi-lagi aku tersentak, kali ini aku tak mungkin salah dengar. Aku bangkit dan mencari sumber suara itu namun tak juga kutemukan.
“Siapa kau?” tanyaku setengah berteriak.
“Lagu itu punya arti yang mendalam, kau  menyukainya? Ada alasankah?” kini kudengar suara itu semakin jelas.
“Ada apa dengan pertanyaanmu? Tunjukkan dirimu! Siapa kau? Hantu?”
“Haha.. apa kau baru saja kehilangan seseorang? Atau malah sudah lama berlalu namun kau masih terpuruk tanpa melakukan apapun?”
“Hei!! siapa kau? Apa mungkin kau Jingga? Aaaah aku mulai gila! Siapa kau? Keluarlah!” aku mulai gusar dan panik, hingga aku mengira suara itu milik Jingga.

“Baik, aku akan keluar tapi kau harus bersedia menemaniku mengobrol dan menghabiskan sore ini” tawarnya.
“Keluarlah.”
Bisa kulihat dari balik pepohonan seorang perempuan berambut panjang dan ikal dengan poni penuh yang menaungi dahinya, kini datang mendekat ke arahku, dan aku sedikit dikejutkan karena ia menggunakan kursi roda.
“Hai.” Sapanya ringan.
“Kau siapa?” tanyaku penuh selidik.
“Kenalkan,  aku Jingga.” Ia mengulurkan tangannya, namun tak kusambut karena seketika lututku lemas, aku merasa aku akan roboh, apa-apaan ini? Bagaimana bisa aku bertemu dengan seseorang lain yang bernama Jingga dalam kondisi seperti ini? Lalu aku berusaha membuat wajahku terlihat setenang mungkin.
“Kenapa kau ada disini? Dan kau sendirian?” tanyaku tanpa menyebutkan siapa namaku.
“Aku biasa sendiri, itu mobilku kuparkir di depan taman itu.” Sahutnya sumringah seraya menunjuk arah dimana mobilnya diparkirkan.

Aku kembali duduk dan memetik gitarku, namun tak ada nyanyian yg keluar dari mulutku karena jujur saja, lidahku kelu.
“Aku lihat kau selalu duduk di bangku ini, dan menghabiskan soremu disini, hampir setiap hari kurasa, apa kau menyukai tempat ini?” tanyanya.
“Bagaimana kau bisa mengetahui tentang itu? Apa kau penguntit?” tanyaku tanpa menoleh ke arahnya.
“Hahaha….” Tawanya pecah “Apa aku terlihat seperti itu?”
“Entahlah”
“Aku hanya senang bermain di taman ini, tenang dan tidak akan ada orang yang memperhatikan aku”
“Haha.. lucu sekali, apa kau selebriti? Sehingga kau takut diperhatikan orang? ada-ada saja”
“Haha..kau juga lucu sekali, mana ada selebriti yang tak bisa berjalan sepertiku? Hahahaha…”
Ia tertawa hingga memamerkan gigi-giginya yang rapi dan tampak dua lesung pipit yang terlihat menaungi pipinya. Namun aku hanya diam tanpa memedulikannya, wajahku terus menunduk dan hanya memetik gitarku saja.
“Aku hanya senang menghabiskan sore disini, karena aku merasa disini lebih tenang tanpa ada orang yang memperhatikanku, umm… lebih tepatnya memperhatikan kursi rodaku, rasanya benar-benar tidak nyaman ketika orang-orang melihat ke arahku hanya karena alat bantuku ini.”
Kudengar Ia tiba-tiba saja bercerita tanpa aku menanyakannya, aku meletakkan gitarku dan melihat ke arahnya.

“Kau? Kenapa kau menceritakan itu padaku? Pergilah, aku ingin sendiri.” sejujurnya aku tak enak hati berkata seperti itu, hanya saja aku bukan tipe orang yang suka mendengarkan orang lain.
“Apa kau tidak merasa kesepian? Sikapmu begitu dingin, apa kau telah kehilangan seseorang? Hmmm… kurasa kau itu kaku sekali, apa kau tidak suka diganggu oleh gadis berkursi roda sepertiku?”
Aku hanya diam, aku teringat kata-kata itu, begitu mirip Jingga “kau itu kaku sekali” aku tersentak karena tiba-tiba saja aku mendengar seperti Jingga sedang berbicara padaku.
“Baiklah, aku pergi. Habiskanlah harimu jangan hanya disini saja, move on! Life must go on! Okay, Bye….”
“Tunggu!” aku memanggilnya kembali “Maaf, aku tak bermaksud menyinggung perasaanmu, aku tunggu kau disini, besok jam 4 sore, bagaimana?”
“Baiklah” sahutnya sambil tersenyum simpul, menarik tuas kursi rodanya dan menghilang di kejauhan.

***
Aku menunggunya di taman ini, entahlah aku juga tak mengerti kenapa ada keinginan untuk menemuinya lagi. Dan kulihat Ia dari kejauhan dengan kursi rodanya.
“Lama menungguku?” tanyanya
“Aku sedang tidak menunggu sama sekali, karena aku memang selalu menghabiskan soreku disini”
“Haha.. apapun itu, terserah kau saja, by the way hari ini kau tak membawa gitarmu? Apa tak bosan kalau hanya duduk saja?”
“Aku hanya ingin duduk menikmati senja, hingga kulihat warna jingga, maka aku akan meninggalkan taman ini.”
“Jingga? Itu namaku!” pekiknya antusias.
“Apa di dunia ini hanya kau yang bernama Jingga? Dan kau harus tau, aku sedang tidak membicarakanmu.
“Ya, aku tau, apa kau batu? Kau seperti patung bernyawa.”
Aku terpaku dan kudengar lagi suara seperti bisikan itu “Apa kau batu? Kau seperti patung bernyawa” aku dengar suara Jingga.
Jingga-ku yang telah meninggalkanku selamanya sejak 2 tahun yang lalu.
“Haha.. aku hanya bercanda, don’t take it seriously.” ia mengibaskan tangannya di depan wajahnya. Akupun tersentak.

“Hei, kau lebih banyak diam, apa aku terlalu cerewet?” tambahnya.
“Ya, kau cerewet sekali.” Sahutku singkat.
“Oh ya, kenapa kau selalu menyanyikan lagu itu setiap kau duduk disini? Aku memperhatikanmu beberapa kali.”
“Lagu apa?”
“Ghost of you miliknya Michael Learns To Rock”
“Aku hanya menyukai lagu itu, bukan apa-apa.”
“Bukankah kau baru saja kehilangan seseorang? Atau ditinggalkan? Atau sesuatu yang lain?”
“Bisakah kau diam? Apa kau tak merasa kau begitu banyak bicara?”
“Hmmm… kehilangan ya? Akupun pernah mengalaminya, namun pada akhirnya aku baik-baik saja, tak ada hal yang tak bisa dijawab oleh waktu, waktulah yang membuat aku mengerti, dalam setiap kehilangan ada sesuatu lain yang sudah menanti kita”
“Hentikan” sahutku lemah.
“Dalam setiap masalah,” Ia terus melanjutkan bicaranya tanpa mempedulikan perintahku. “Ada banyak hal yang dapat kita pelajari, masalah-masalah yang berdatangan adalah hal-hal yang membantu kita untuk terus tumbuh, menghadapinya dengan dewasa, bukan terus meratapinya tanpa melakukan apapun, karena….”
“Kubilang HENTIKAN!!!!” aku semakin marah, kemudian aku bangkit berdiri dan menunduk ke arahnya, mengintimidasinya dengan tubuh jangkungku, menelanjanginya dengan tatapan dinginku dan garis kaku yang bisa kurasakan diwajahku, lalu menjejalinya dengan protes kerasku.
“Apa kau tau bagaimana rasanya kehilangan? Apa kau tau bagaimana rasanya ditinggalkan setelah kau menyadari ternyata kau benar-benar mencintainya? Dan apa kau tau? Bagaimana rasanya kembali redup setelah kau menemukan cahaya? Kembali hitam setelah kau menemukan warna? Apa kau tau?!” Aku sudah tak sanggup lagi berteriak, air mataku menggenang di pelupuk mata, kuarahkan pandanganku ke langit untuk mencegah air mata ini menetes ke pipiku yang tirus, karena belakangan ini kurasakan tubuhku semakin kurus.
“Aku terpukul, setiap kali mengingat itu semua, menekanku dalam perasaan bersalah, mengulitinya hingga ke dalam nadiku, dan sekarang kau kembali mengingatkanku lagi, lebih dalam dan lebih dalam lagi.” Lanjutku dengan suara parau.

“Aku tau, rasanya kehilangan.” Ada jeda sebentar, lalu Ia melanjutkannya.
“Aku pernah mengalaminya, aku lumpuh sejak 7 tahun yang yang lalu karena kecelakaan, dan oleh kecelakaan itupun aku kehilangan kedua orangtua-ku, dan juga kehilangan kakiku.
Aku memang masih punya kaki tapi tetap saja ini tak berfungsi.” Ia memukul-mukul kakinya. “Lihatlah tak terasa apapun, ini semua sudah mati rasa, aku hidup hanya bersama perawatku karena aku sudah tak punya siapa-siapa lagi namun bisa kaulihat? Aku baik-baik saja dengan keadaanku yang seperti ini.
Kau tau apa sebabnya? Karena ada yang mendengarkan keluhanku, tangisanku, semua perasaan yang aku rasakan ketika aku terpuruk.”

Aku hanya terpaku melihatnya bicara, begitu tenang, penuh senyuman dan semangat hidup di wajahnya. Ia begitu bersinar.

“Kehilangan memang menyakitkan, tapi tidakkah kau tau? Pada setiap pertemuan pasti akan ada perpisahan, karena seperti itulah dunia bekerja. Kita ditakdirkan untuk terus bertemu dengan orang-orang baru, kita diberi masalah dan kita mencari solusinya. Ketika kau dapat masalah, terimalah, jika tak bisa maka ubahlah masalah itu menjadi lebih kecil, namun jika masih tetap tak bisa, maka tinggalkanlah. Karena seperti itulah hidup yang sesungguhnya, semakin banyak masalah yang dapat kau taklukkan maka semakin banyak soal-soal kehidupan yang telah kau jawab.”

“Apa kau sedang menasihatiku sekarang?” akhirnya aku berbicara.

“Tidak sama sekali, aku hanya ingin menyadarkanmu, hidup itu tak semudah hanya sekedar meratapi masalah dan menunggu masalah itu selesai dengan sendirinya. Hidup harus dijalani, ketika kau merasa terbebani, bicaralah. Tak harus dengan seseorang, kau bisa berbicara pada angin, daun, langit, dan tentu saja Tuhan. Bukankah setiap kita memiliki masalah, kita hanya ingin didengar? Semua yang aku sebutkan tadi adalah pendengar yang baik, mereka akan terus mendengarkanmu tanpa merasa jenuh akan keluhanmu.”

“Hahahahaha.. ada-ada saja kau, tentu saja mereka hanya akan mendengar, aku tak bisa berkomunikasi dengan apapun yang kau sebutkan tadi.” Tawaku terdengar sumbang.

“Begitukah? Coba saja, ketika kau berbicara pada salah satu yang aku sebutkan tadi, kau akan jauh lebih tenang, dan tanpa kau sadari kau akan menemukan solusinya.”

“Maksudmu? Pada daun-daun yang ada disana? “aku menunjuk ke arah dedaunan itu “haha..aku akan gila setelah ini, tentu saja.”

“Bukan, tapi bicaralah pada Tuhan”

Aku terdiam, cukup lama, tak tau mengapa aku begitu tersentuh ketika mendengar kata itu “Tuhan” entahlah, sejak kapan aku menjadi religius begini? Apa aku peduli akan hal-hal seperti itu?

“Baiklah, aku pergi dulu, hari sudah semakin gelap, dan aku rasa kau butuh teman and God is a good friend.”

Lalu ia meninggalkanku lebih dulu, sementara aku hanya duduk diam tak menjawabnya.
Sepeninggalnya, aku merenungkan apa saja yang telah Ia katakan sebelumnya padaku.

Apa maksud dari semua hal yang Ia katakan padaku sesaat lalu? Apa pedulinya padaku? Pada apapun yang terjadi denganku, namun jujur saja disetiap helai ucapannya itu telah berhasil menggerogogoti organ tubuhku, mengais semua memori yang perlahan ingin kulepaskan.
Bukan! Tentu saja aku tak pernah ingin membuang semua kenanganku bersama Jingga, aku hanya ingin mengenangnya dengan senyuman, bukan keterpurukan seperti ini.

Persetan dengan semua ini, persetan dengan perasaanku saat ini, hanya aku yang mampu mengendalikannya, namun apa? Apa yang kulakukan sekarang? Kehadiran gadis berkursi roda itu dengan tiba-tiba dan berbicara hal yang membuatku teringat lagi akan Jingga, semakin memporak-porandakan perasaanku. Sebegini pahitkah? Sesulit inikah?
Dua tahun bukan waktu yang singkat, namun apa yang membuatku tak sanggup keluar dari masalah ini?.
Dan Jingga, taukah kau aku merindukanmu? Bahkan kau tak pernah hadir sekalipun ke dalam mimpiku. Apa kau begitu membenciku, hingga kau tak mengijinkanku untuk melihatmu walau hanya dalam mimpiku?

Matahari semakin samar dari pandanganku, hari semakin gelap, lalu kuambil kopi yang kubawa saat perjalanan kemari, kopi itu menjadi dingin dan semakin pahit saat kusesap, mengaliri sepanjang mulutku, berlama-lama di dalam tenggorokan, hingga tertelan. Angin berdesir menerbangkan debu dan menyentuh kulitku hingga terasa di aliran sarafku, membuatku larut dalam lamunan dan temaramnya senja, kepalaku menengadah dan kusandarkan tubuhku pada bangku di taman itu, lelah.

Benarkah? Aku butuh teman bicara? Dan apakah aku bisa bicara pada Tuhan? Apa Tuhan mau menjadi temanku? Aku bahkan tak ingat, kapan terakhir aku menyebut nama itu.
Dan sekarang aku tau, aku butuh teman.
Aku butuh Tuhan.
Aku meremas rambutku yang sudah tumbuh liar hingga melewati batas dahi, menariknya kasar dengan jari-jariku, menyingkirkannya dari dahi, hingga memperlihatkan alis tebalku. Aku merasa begitu gamang.

Namanya juga Jingga, sama seperti Jingga-ku, tapi mereka memiliki keistimewaannya masing-masing.
Perempuan itu begitu bersinar dan aku menyukai semangat hidupnya. Sedikitpun aku tak memandang fisiknya yang cacat, justru dengan kursi rodanya, ia tampak hebat di mataku. Sementara aku? Aku merasa aku begitu kecil, bahkan ketika Ia bercerita tentang masa lalunya yang paling buruk, Ia masih tetap tersenyum.

“Hei! gadis berkursi roda! Thank You So Much!” teriakku dalam hati.

“Apa namamu Rama?”
Aku tersentak, tiba-tiba saja ada suara tepat di belakangku, dan sumber suara itu berasal dari Jingga, si gadis berkursi roda.
“Bukankah kau sudah meninggalkan tempat ini? Dan bagaimana kau tau namaku?”
“Aku berpikir untuk kembali, dan aku rasa sudah saatnya aku memberi ini padamu.” Kulihat ia mengeluarkan sebuah amplop berwarna merah kekuningan dan menyodorkannya padaku.
“Apa ini?” tanyaku seraya mengambilnya.
“Itu sebuah titipan dari temanku.”
“Temanmu? Dan ini untukku?” mataku membelalak tidak mengerti.
“Bukankah namamu Rama? Kalau benar namamu Rama, maka surat ini memang benar untukmu, seorang teman menitipkan padaku untuk memberikannya padamu.”
“Bisa kau katakan siapa nama temanmu?” tanyaku semakin bingung.
“Namanya Jingga, sama seperti namaku.”

Aku jatuh, terduduk di atas bangku di taman itu, aku kehilangan keseimbangan, lututku lemas. Aku tak menemukan  suaraku, aku diam, cukup lama hingga akhirnya aku bicara.
“Apakah namanya Jingga Kanyestha? Apa benar itu namanya?” suaraku bergetar, tak bisa kukendalikan.
“Ya, benar sekali, Jingga adalah temanku yang kukenal di Rumah Sakit, kami dirawat di rumah sakit yang sama, dan beberapa bulan terakhir sebelum ia meninggal, kami jadi sering bertemu dan ia banyak bercerita tentangmu padaku.”
Aku terdiam, kali ini tak bisa kubendung lagi air mataku, air mata ini keluar bebas dari sisi-sisi pelupuk mataku. Perasaan macam apa ini? Kenapa aku harus bertemu kenyataan seperti ini? Surat? Sebuah surat untukku? Kenapa aku gemetar? Hingga sebuah suara itu menyadarkanku.

“Bacalah surat itu ketika aku pergi dari sini, itu masih tersegel rapi, aku tak pernah membukanya sejak Jingga memberikan itu padaku, karena aku tau itu bukan hak-ku.”

Tak ada jawaban dariku, aku tak bisa menjawab apapun, surat ini hanya kupandang dalam genggamanku, kepalaku tertunduk, semakin lama semakin dalam. Aku memeluk lututku seperti bayi dalam kandungan, apapun tak akan sanggup mengobati perasaanku saat ini, aku kembali pada memori di masa itu.
Kuingat semua canda tawaku bersama Jingga dan semua kelakarnya, rasanya baru saja hari itu berlalu.
Bagaimana ia selalu tersenyum walaupun aku memperlakukannya begitu dingin.
Bagaimana ia selalu memberiku semangat walau aku tak selalu mengacuhkannya.
Apa memang sudah benar-benar berakhir?
Kisah cintaku bersama Jingga termasuk kisah cinta yang manakah? bahagiakah? atau tragiskah?
Adakah yang bisa menjawabku sekarang?

Begitu banyak pertanyaan yang berputar memenuhi kepalaku, hingga aku merasakan urat-urat sarafnya ingin melepaskan diri oleh kesakitan yang seketika membebaniku lagi.
Apakah aku harus merasa sakit dan semakin sakit lagi hingga akhirnya aku sadar tentang apa yang harus aku lakukan selanjutnya?
Pertanyaan dan jawaban bertabrakan di kepalaku, seakan bergesekan dan menghimpit saraf-sarafku yang membuat tanganku secara reflek memegangi kepalaku, menahan kedua sisinya, lalu perlahan kutenangkan diriku, kuhapus kasar sisa-sisa air mata yang terasa lengket diwajahku.

Setelah kurasa cukup, lalu kuangkat wajahku, memberanikan diri menatap seseorang yang ada di hadapanku saat ini.
Namun, gadis berkursi roda itu sudah tak ada disini.

Mungkinkah, aku bisa menemuinya lagi di kesempatan yang lain?
Atau mungkin dia adalah seorang teman yang sengaja dikirimkan Jingga untukku?

Jingga, jangan permainkan perasaanku seperti ini.
Aku benar-benar kacau.
Berikanlah aku kekuatan untuk bisa merelakanmu, agar aku tak terus terpuruk seperti ini.
Karena, disaat aku bisa merelakanmu, saat itulah aku benar-benar bisa memujamu dalam hatiku, bukan terus meratapi kepergianmu seperti ini.

Kubuka perlahan surat itu mencoba mengendalikan rasa ketidaksabaranku, kukeluarkan lipatan kertas itu dari amplopnya. Sebelum aku membacanya, hatiku berteriak namun tertahan hingga kurasakan dadaku begitu sesak dan terhimpit.

Kuhembuskan nafasku dengan keras, dan bergumam, nyaris seperti bisikan.
 “I feel so messed up without you beside me, so please let me to release you”

Lalu aku mulai membaca barisan huruf di atas kertas itu.


Story by: Risty
Backsong: MLTR - Ghost of you

No comments: