Search

Apr 14, 2011

Just 5 Minutes

Setiap cerita selalu membuat kita tersenyum, tertawa bahkan menangis..
Disini mungkin kau bisa menemukan salah satunya..

Happy Reading ^___^


Sore ini..
Langit tidak berwarna jingga seperti biasanya..
Gelap..diselimuti awan hitam..
Tapi sama sekali tidak membuatku beranjak dari bangku tua di taman ini..
Ya..
Aku menunggu sesuatu disini, entah akan kudapatkan atau tidak..
Jingga..
Aku menunggunya..
Aku selalu menunggunya, di sini..di taman ini..

Aku kembali pada memori di masa itu..
Ketika aku selalu melewati hari-hariku bersamanya..
Aku teringat betapa konyolnya hal-hal yang dia lakukan padaku..
Hal-hal yang tak pernah terpikirkan olehku akan dilakukan oleh seorang perempuan..
Dia selalu membuntuti kemana aku pergi..
Dia selalu berusaha menyukai hal-hal yang aku sukai..
Sampai pada akhirnya dia memaksaku untuk menjadi pacarnya...
Masih terekam dalam memoriku, setiap kata yang dia ucapkan untukku..

“hei kau! Apa aku ini tidak kasat mata? Apa aku terlihat transparan? Aku memanggilmu!” Jingga berlari dan berteriak, namun aku tetap berlalu tak mengacuhkannya sedikitpun.
“hei!!! Aku lelah.. kau tau tidak? Menolehlah sedikit saja! Kau itu kaku sekali!” Jingga terengah-engah sambil menunduk dan memegang lututnya.
Aku menoleh, karena benar-benar tak tahan dengan lengkingan suaranya.
“kau itu berisik sekali, kau tau? Ada apa kau membuntutiku hampir setiap hari?”
“dari awal kau sudah tau kan? Aku ingin jadi pacarmu, itu saja! Ayolah, aku sangat menyukaimu” Jingga setengah memaksa, dan menarik tanganku.
“Apa kau sudah gila? Aku bahkan tidak mengenalmu dengan baik”. Sesungguhnya aku terkejut, tapi aku berpura-pura tidak mempedulikan ucapannya.
“I just wanna be your girlfriend! I just want you say YES!! Please.. I’m begging you”
“Did you know one thing? You are so weird! isn’t it?“ Kataku sambil lalu.
“Haha…yeah, I know that, but everything because you.”
Hei! Kau meracau, sudah..pulang sana..aku masih banyak urusan” jawabku santai
“Aku tak mau pergi, sebelum kau bilang iya” Jingga bersikukuh dan tak melepaskan genggamannya di tanganku, aku diam tidak menjawab sampai akhirnya aku memutuskan mengatakannya.
“Oke baiklah, sekarang kau harus pulang”
“benarkah? Kau mau jadi pacarku? Aku senang sekali, sungguh aku senang!” Jingga melompat kegirangan seperti anak kecil. Aku menyunggingkan sedikit senyumanku, dan kembali mengembalikan wajah dinginku sebelum dia melihatnya.
“ya sudah cepatlah pulang, hari sudah senja dan sebentar lagi gelap”

Jingga memiliki mata yang besar, pipi yang chubby, hidung yang kecil dan bibir tipis berwarna pink alami. Ia terlihat begitu cantik dan menarik dengan rambut pendeknya yang melewati batas leher, rambutnya selalu terurai dan ia menghiasnya dengan pita berwarna hijau turquoise, ia terlihat begitu menggemaskan dengan kulit putih pucat dan tubuh mungilnya yang tingginya tak sampai melewati pundakku, karena tubuhku yang menjulang.

“aku ingin kau mengantarku pulang, ayolah..kau itu pacarku sekarang” Jingga masih menggenggam tanganku, sementara aku sedikitpun tak berkutik.
“kenapa kau selalu memaksa? Kenapa kau menyebalkan sekali?!”
“hahaha..kau itu dingin sekali, bersikaplah manis pada pacarmu ini, ayo antar aku pulang, rumahku tidak jauh.. ayolah aku mohon”. Jingga menarik tanganku dan memaksaku untuk mengantarnya pulang. Aku tak mau berdebat dan dia akhirnya pulang bersamaku.

Rumah itu besar, namun seperti tak berpenghuni, tampak seorang wanita paruh baya sedang membukakan gerbangnya. Namun Jingga segera menyuruhnya masuk saja ke dalam dan meninggalkan kami berdua di depan gerbang itu.
“Dia siapa?” tanyaku.
“Dia pengasuhku, aku sangat mencintainya”
“Kau manja sekali, sudah sebesar ini masih punya pengasuh” aku mendengus, namun Jingga hanya tertawa memandangku dan berkata.
“Sekarang aku sudah tak begitu membutuhkannya, karena ada kau yang akan menjagaku”
Aku tergelak, mendengar ucapannya.
“kau kira aku punya waktu sebanyak itu? Kau kira aku bersedia? Dasar gadis aneh, apa lagi yang kau ing…”
Aku tak berhasil menyelesaikan kata-kataku, aku terpaku.. Jingga mendaratkan satu kecupan di pipiku, aku merasa jantungku berdegup dua kali lebih kencang, namun ekspresi wajahku tetap datar.
“hanya itu yang bisa membuatmu diam, terimakasih sudah mau jadi pacarku dan mengantarku pulang, aku sayang kamu Rama”. Jingga masuk ke dalam rumah itu dan meninggalkan aku yang masih berdiri kaku memandanginya hingga akhirnya aku berbalik meninggalkan rumah itu. Sesungguhnya aku tak mengerti, perasaan gundah merasukiku, seperti ada kembang api yang meledak bebas di hatiku, aku bahagia.. sungguh! Namun aku masih belum berani mengakuinya. Aku mau menjadi pacarnya, hanya karena aku tak mau diganggu setiap hari olehnya, itu saja. Tapi entah, aku tak tau, aku seperti terjerat dalam permainanku sendiri, ya benar saja.. aku mulai menyukainya.

Begitu banyak hal yang kami alami bersama, kebiasaan kami menghabiskan waktu di taman untuk sekedar melepas lelah, entah setelah pulang sekolah atau karena kegiatanku yang sungguh padat ketika itu. Aku mengikuti basket dan musik, dia selalu ada disampingku, bersamaku, walau aku sering sekali menyuruhnya untuk pulang dan meninggalkanku saja. Aku tak tau kenapa Jingga begitu tahan menunggu aku berlama-lama latihan basket dan menemaniku latihan musik di sebuah studio. Terkadang ia sungguh kekanakan, dengan memarahi siapa saja perempuan yang ada di dekatku dan mempertegas bahwa aku ini pacarnya. Kerap kali dia memaksaku bermain gitar dan bernyanyi untuknya di taman itu. Hingga pada saat itu dia berkata.

“Rama, kenapa kau begitu kaku dan dingin kepadaku? Ayolah katakan kau juga sayang padaku”
“Untuk apa? Semakin sering aku mengatakan aku sayang padamu, maka aku akkan mudah untuk mengatakan, aku membencimu.” Jawabku, aku memang tidak pandai mengutarakan isi hatiku, sesungguhnya aku sangat menyayanginya, betapa inginnya aku mengatakan “Aku sayang padamu” berkali-kali untuknya, tapi lidahku kelu aku tak bisa.
“Kita sudah cukup lama pacaran, tapi kau masih saja seperti itu, tapi tidak masalah, karena aku menyukaimu seperti apapun kau, sekalipun kau berubah menjadi manusia batu! Hahaha….”. Jingga selalu tertawa dan ceria walaupun aku selalu bersikap dingin kepadanya.
“Kau itu cerewet sekali! Kau tau itu?” aku tetap memetik gitarku dan duduk di bangku , di taman itu.
“Tapi kau suka aku kan? Bersikaplah manis sekali saja.. dasar patung bernyawa! Hahaha”
Jingga bersandar di punggungku, kami saling membelakangi, kami duduk dan punggung kami saling bertemu. Namun aku tetap diam.
“Hei! Kenapa kau diam? Apa kau tak dengar? Katakanlah Rama, kau sayang padaku..kau mau jadi pacarku karena kau sayang padaku” Jingga berbalik dan mengguncang punggungku, tapi aku tetap diam dan dia kembali menyandarkan punggungnya di punggungku.
“ ayolah Rama, sekali saja.. aku janji tak akan memintamu lagi untuk mengatakan ini, aku hanya ingin dengar kau bilang, “Aku sayang kamu Jingga” itu saja, sekali saja aku mohon”. Rengek Jingga seraya mengusap alis tebalku dengan kedua tangannya, karena memang itulah kebiasaannya.
“Tidurlah, kau itu terlalu lelah, nanti aku bangunkan kau sebelum gelap”. Aku tetap tak mau menuruti keinginannya.
“hhh… ya sudahlah, walaupun kau tak mengatakannya tapi aku tau, kau pasti sayang padaku, ya itu pasti”. Jingga tersenyum dan tertidur di pundakku. Aku membelai rambutnya dan mengecup keningnya, dalam hatiku berkata “aku sayang padamu Jingga”.

Celakanya, aku ikut tertidur.. langit sudah mulai gelap, warna jingga itu akan segera memudar. Aku membangunkan Jingga dari tidurnya.
“Jingga, ayo bangun.. langit sudah mulai gelap, kita harus pulang”
Jingga menguap lalu tersenyum dan berkata.
“Kenapa cepat sekali? Aku masih ingin disini bersamamu Rama”
“Sudahlah, besok kan bisa? Jangan macam-macam kau ini.” Aku menariknya dari bangku itu.
“Tunggu, duduklah sebentar lagi, sebentar saja Rama”
“Apa-apaan kau ini, matahari sudah hamper tak terlihat lagi, Jingga.” Aku memandanginya tepat ke dalam manik matanya, dan ia meletakkan tangannya di kedua sisi pipiku yang tirus, menempelkannya dan memandangku lekat-lekat.
“Sebentar saja Rama, okay!” sahutnya nyaris seperti bisikan.
“Ada-ada saja kau ini, ayolah aku antar kau pulang.” Aku kembali duduk, namun dia justru merebahkan kepalanya di pangkuanku.
“hei! Kau ini!” bentakku.
“Rama aku ingin tanya, apa kau sayang padaku?” Jingga menengadahkan kepalanya ke wajahku, dan memberi pertanyaan itu lagi, dan lagi-lagi aku diam. Aku mengutuk diriku sendiri, kenapa lidahku kelu? Aku tak bisa mengatakannya.
“Hanya mengangguk, aku mohon mengangguklah Rama, kalau tidak.. aku tak mau pulang”
“Kau ini!” wajahku kaku, tanganku memainkan hidungku yang mancung dan aku kembali diam tak bergeming.
“Kau sayang aku? Apa kau sayang aku Rama? Mengangguklah, aku mohon”
Jingga tak juga menyerah, dan kali ini aku menggangguk dan Jingga tersenyum padaku.
“Terima kasih Rama.” ucapnya.
“ayo kita pulang” kataku.
“Aku ingin tidur sebentar di pangkuanmu, 5 menit saja aku mohon”
“tapi hari sudah mulai gelap, ku antar kau pulang”
“5 menit Rama, hanya 5 menit aku mohon”
“Baiklah..” Aku tak bisa berbuat apa-apa, dia selalu seperti itu, memaksakan apa yang dia ingin, tapi anehnya aku selalu menyanggupinya, karena aku tak berdaya, aku sangat menyayanginya.

5 menit pun berlalu…
“Jingga, bangunlah..jangan banyak alasan lagi, kau harus ikut aku pulang sekarang!”
Aku mengguncangkan bahunya, berusaha membuatnya terjaga. Namun Jingga tak juga membuka matanya.
“kalau kau tidak mau bangun, aku akan menggendongmu pulang ke rumah, kau tau!”.  Kesabaranku habis, aku sudah sering dikerjai olehnya, tapi kali ini dia tak akan berhasil.
“Jingga! Ayolah! Aku akan menggendongmu pulang sekarang juga!”. Aku terus mengguncangkan tubuhnya, namun tubuhnya tak bergerak sedikitpun, sampai akhirnya tangannya terkulai di lututku. Aku cemas, aku tak tau apa yang terjadi pada Jingga. Tanpa berpikir lagi aku membawanya ke rumah sakit. Tak terasa tubuhku mulai tegang dan terasa panas, aku menambah kecepatanku, melebarkan langkahku, aku berlari sekencang-kencangnya, aku tak mau terjadi apapun dengan Jingga.
“Bertahanlah Jingga, aku mohon!” bisa ku dengar, degup jantungku dan getar suaraku.

Sungguh aku tak menyana, aku sedikitpun tak ingin percaya, rasanya ingin kulemparkan apa saja yang ada di dekatku. Jingga sudah tak bernyawa, Jingga menderita kanker darah stadium akhir. Jingga tak bisa diselamatkan, Jingga telah meniggalkanku selamanya. Kenapa?!!! Kenapa aku bahkan tak tau apapun? Aku tak pernah bisa membuatnya bahagia! Aku selalu membuatnya kesal! Kenapa aku tak tau sama sekali? Aku seperti orang bodoh! Tak hentinya aku memaki diriku.

Semua memori itu melekat di hatiku, setiap helai perlakuan bodohnya, setiap senyum cerianya, apapun aku ingat, semuanya..aku mengenangnya.
Sekarang, 2 tahun telah berlalu, aku bukan lagi seorang siswa di sekolah ini. Namun aku selalu mendatangi taman ini, aku menunggu untuk melihat langit sore yang menunjukkan warna jingga, aku selalu ingin melihat warna jingga itu, dan tak akan pergi sebelum gelap, sebelum warna jingga itu memudar.

Andai saja, aku bisa kembali ke masa itu..
Andai saja aku mampu mengatakan betapa aku sayang padanya, betapa aku tak mau kehilangannya..
Andai saja lidahku tak kelu ketika itu, maka aku akan mengatakan.
“AKU SAYANG KAMU JINGGA” sampai aku tak mampu lagi.
Andai saja, aku bisa bersikap lebih manis padanya.
Aku mengutuk diriku sendiri, dia..hanya meminta 5 menit..
Bahkan hanya 5 menit, aku tak mampu mengatakannya..

Hanya 5 menit..
Kembalikan aku ke 5 menit itu..
Berikan aku 5 menit lagi, maka aku akan berteriak sekencang-kencangnya..

“AKU SAYANG KAMU JINGGA!!!!!”


Story by : Risty
Backsong : Avril Lavigne - When you're gone

2 comments:

Anonymous said...

terharu banget bacanya, tapi kenapa harus sad ending sih :( , eh btw slm kenal ya hehe

chrome rainbow said...

haaa gw nangis ris :'( hampir sama kyk punyaku..